Tribunners / Citizen Journalism
Berharap Gus Yaqut Perbaiki Carut Marut Kemenag dan Hentikan Regenerasi Kader Radikalis
Kebijakan Kemenag dianggap mempersulit para calon mahasiswa yang akan melanjutkan studi ke Universiyas Al Azhar Mesir.
Walaupun terpaksa mengeluarkan biaya tambahan, antusiasme masyarakat cukup tinggi. Hal itu terlihat pada capaian PUSIBA memang cukup bagus. Pada tahun 2020 ini saja, berhasil menyelenggarakan kursus bahasa . Nyatanya, 1600 alumni training ini berhasil lulus untuk melanjutkan studi ke Al-Azhar, Mesir. Bisa kita bayangkan jika tanpa PUSIBA, tentu kebijakan serampangan Kemenag memutus kesempatan satu generasi melanjutkan studi ke al-azhar. Kemenag yang semestinya menjadi regulator justru lepas tangan, meniadakan seleksi dengan alasan Corona tentu tidak masuk akal, karena ujian seleksi bisa dilakukan secara Online, ataukah ini bukti ketidakmampuan Kemenag mengadakan ujian secara online? Sungguh sangat di sayangkan.
Tampaknya, regulasi Kemenag memang sengaja dibuat agar rumit. Bukti lain, Regulasi Kemenag mensyaratkan calon mahasiswa baru fasih berbahasa Arab oral dan menghafal Al-Qur'an. Padahal, regulasi Al-Azhar tidak mensyaratkan calon mahasiswa barunya hafal Al-Qur'an. Kewajiban hafalan bisa dituntaskan di akhir ujian itu pun hanya satu Juz 1 tahun.
Aturan wajib hafal Al-Qur'an dan fasih berbahasa Arab merugikan banyak pondok pesantren tradisionalis. hafalan al-Quran di pesantren tradisonal umumnya hanya khusus pesantren Quran saja, karena Penekanan pondok pesantren tradisional umumnya adalah mencetak pribadi santri yang berakhlakul karimah, ahli dalam tata bahasa arab dan berbagai bidang ilmu pengetahuan agama, misalnya pesantren-pesantren berbasis Salafiyah (Nahdlatul Ulama).
Di sisi lain, regulasi Kemenag yang menekankan hafalan kelincahan berkomunikasi dengan bahasa Arab komunikasi semacam itu memberatkan pesantren-pesantren tradisionalis yang dalam lingkungan pesantrennya tidak menggunakan percakapan bahasa arab, tentu saja Para santri yang tidak menekuni program Tahfizul Qur'an atau ikut ke Markaz Lughah Arabiah akan kesulitan melewati rintangan Kemenag sehingga terhambat untuk melanjutkan pendidikan tingginya ke Al-Azhar. Padahal, syarat itu hanya regulasi bikinan Kemenag tempo dulu, dan bukan standar dasar Al-Azhar sendiri.
Pengalaman penulis sendiri, dulu berangkat ke Al Azhar tanpa di seleksi Kemenag, tidak memiliki modal hafalan Quran, tidak lancar berkomunikasi bahasa arab, tapi dengan modal tata bahasa arab dan khazanah Islam dari pesantren Lirboyo mampu menyelesaikan pendidikan al Azhar dengan prestasi yang membanggakan, dan itu di alami ratusan alumni-alumni pesantren salafiyah (NU) pada masa itu.
Terakhir, problem lain kebijakan Kemenag adalah regulasi tentang pembatasan kuota mahasiswa ke Al-Azhar. Dari 20.000 pendaftar ujian seleksi Kemenag Hanya 1.500 an mahasiswa yang dinyatakan lulus mendapat rekomendasi dari Kemenag tiap tahunnya. Padahal, jatah kuota dari Al-Azhar terbuka seluas-luasnya, terlebih untuk jalur mandiri.
Kemenag harus sadar diri. Dana beasiswa sejatinya bukan dari pemerintah Indonesia, melainkan dari pihak Al-Azhar sendiri. Status Kemenag sebatas sebagai penyalur semata. Sebagai penyalur, tentu absah bila Kemenag membuat regulasi yang ketat.
Tetapi, untuk kasus jalur mandiri, Al-Azhar memberikan keleluasaan bagi siapa pun warga negara Indonesia yang ingin belajar ke Mesir. Selama mereka mampu membiayai hidupnya sendiri dan segala kebutuhan selama menempuh pendidikan maka Al-Azhar akan wellcome dan menyambut dengan tangan terbuka. Ujian seleksi Kemenag senyatanya hanya formalisasi yang tidak jelas standarisasi dan efektivitasnya, buktinya mayoritas yang lulus seleski Kemenag, jangankan untuk masuk Azhar, mereka sampe dimesir setelah di tes ulang hanya di terima di tingkat dasar bahasa Arab Ma’had Lughah Mesir, bisa dikatakan ujian seleksi kemenag selama ini "tidak dapat dipertanggung jawabkan"
Karenanya, Kemenag perlu mempertimbangkan satu hal penting yaitu membuka jalur mandiri seluas-luasnya. Indonesia memiliki penduduk sebesar 260 an juta jiwa. Jika regulasi membatasi keberangkatan calon mahasiswa ke Mesir hanya 1.500 orang saja per tahun, maka hal ini mencerminkan spirit kejumudan.
Penguasa kolonial dulu juga pernah dalam sejarahnya mencoba melakukan kontrol atas warganya yang ingin kuliah ke Timur Tengah, termasuk Al-Azhar Mesir. Upaya kontrol semacam ini terulang kembali di Kemenag sejak Menag Suryadharma Ali, hingga Menag Fachrul Razi, harapannya ini tidak terulang lagi di era Gus Yaqut dan Dirjen Pendis Ali Ramdhani.
Bandingkan dengan Malaysia, yang tiap tahun mengirim mahasiswa mereka ke Al-Azhar sebanyak 3000 sampai 4000 per tahun (themis.geocities). Padahal penduduk Malaysia sekitar 30 juta lebih saja. Ini sangat tidak berimbang dengan negara kita sebagai negara muslim terbesar di dunia.
Kementerian Agama di tangan Gus Yaqut maupun Dirjen Pendis M. Ali Ramdhani perlu memahami permasalahan ini dengan benar, bukan dari para pembisik yang tidak mengerti situasi yang sebenarnya.
Publik berharap Kemenag memperbaiki manajerial internalnya sendiri.
Salah satu aspek manajerial yang dimaksud adalah mengubah sistem seleksi bukan lagi banyaknya hafalan Quran, bahasa arab komunikasi, dan soal multiple-choice. Tetapi penekanan ke tata bahasa arab dan penguasaan khazanah kitab kuning karena itu sejatinya yang dibutuhkan.
Yang sungguh ironis, saat ini seolah Kemenag sedang berperang melawan radikalisme, namun yang tidak disadari dengan regulasi yang ada yaitu harus banyak hafalan al-quran dan fasih berkomunikasi bahasa arab justru menguntungkan pesantren yang di anggap kurang moderat atau bahkan dianggap radikal, yang kurikulumnya memang mewajibkan hafalan al-Quran dan komunikasi harian bahasa Arab. Jadi, sama saja kemenag selama ini tanpa sadar "beternak" radikalisme melalui regulasi yang ada, buktinya walaupun sudah dididik oleh al-azhar dengan pemahaman islam moderat/wasatiyyah tetep saja radikal, karena sudah mendapatkan doktrin yang mengakar sebelum berangkar ke al-azhar.
Terakhir, publik berharap, dengan Menag Gus Yaqut dan dirjen baru M.Ali Ramdhani, Kemenag mampu melakukan kelola manajemen lebih baik dan membuat kebijakan yang tepat guna dan sasaran sesuai dengan kebutuhan publik, sekaligus sesuai dengan kebutuhan negara republik Indonesia. paling sederhana, itu bisa dibuktikan kemenag dengan membuka kembali ujian seleksi studi ke al-azhar Mesir di tahun ini, merubah regulasi (terkait syarat), dan membuka peluang seluas-luasnya bagi pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan studi ke al-azhar Mesir, jika tidak, maka publik tidak perlu berharap banyak lagi dengan Gus Yaqut dan dirjen M.Ali Ramdhani, karena sejatinya tidak serius menangani radikalisme dan perbaikan tata kelola kemenag, namun demikian, penulis berharap itu tidak terjadi, karena sepengenalan penulis, keduanya kader terbaik yang di miliki "nahdiyyin". Wallahu a'lam bishawab"
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.