Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Selamat Datang di Republik Investasi

Menko Polhukam Prof Dr Mahfud MD menyarankan, yang tak sepakat Omnibus Law bisa menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi.

Tribunnews/Jeprima
Sebuah kendaraan dinas Polisi dirusak dan digulingkan oleh sejumlah massa aksi demonstran menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, Rabu (7/10/2020). Tribunnews/Jeprima 

OLEH : DWI MUNTHAHA,  Peserta Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

Analisis Politik Omnibus Law
Dwi Munthaha, peserta Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta, menyimpulkan Omnibus Law bisa menimbulkan dampak kompleks.

PENGESAHAN Rancangan Undang- Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menjadi UU Ciptaker  sudah dilakukan.

Seperti banyak diduga sebelumnya,  keinginan Presiden Jokowi untuk mempermudah masuknya investasi dengan membuat UU Omnibus Law, berjalan mulus didukung partai koalisi pemerintah yang menguasai parlemen. 

Pengesahannya tanpa hambatan yang berarti, selain penolakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan aksi walk out Partai Demokrat yang merasa tidak diindahkan hak suara dan bersuaranya.

Namun demikian, UU Ciptaker rentan dengan gugatan. Dapat dibayangkan, UU ini mempengaruhi isi dari 79 UU dan mengganti 1.244 pasal di dalamnya.  

Baca: Akademisi Lintas Perguruan Tinggi Nyatakan Sikap Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja

Baca: Omnibus Law Mustahil Dibatalkan, Ini Hitungan Besar Pesangon PHK Terbaru Berdasarkan UU Cipta Kerja

Baca: Muncul Hoax Soal UU Omnibus Law Ciptaker, Banggar DPR Khawatir Motifnya Memprovokasi Buruh

Menko Polhukam, Mahfud MD menyarankan, bagi yang tidak bersepakat terhadap UU itu untuk melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.  

Saran tersebut seperti hendak menunjukkan ke publik, bahwa republik ini menganut asas negara hukum yang demokratis.

Tentu premis tersebut mengundang perdebatan yang panjang, mengingat faktor kelembagaan di era transisi demokrasi pasca gerakan reformasi 1998, kerap ditingkahi berbagai kasus yang mencederai kepercayaan publik.  

Sebagian besar kasus yang terjadi adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Penyebutan KKN adalah penyederhanaan kategorisasi praktik-praktik penyimpangan kekuasaan.

Istilah itu populer dan efektif sebagai amunisi saat menjatuhkan Soeharto, penguasa rezim Orde Baru (Orba). 

Sirkulasi elite yang terjadi pasca reformasi, pada kenyataannya tidak signifikan mengubah karakter rezim kekuasaan yang baru. 

Menjadi layak untuk dipertanyakan, apakah isu KKN di masa lalu tersebut dianggap lebih merugikan rakyat atau sesungguhnya investor asing jika praktik-praktik semacam itu tetap berlanjut?

Regulasi Demi Investasi

UU Ciptaker dapat menjadi indikator penting  untuk melihat ke mana arah dinamika ekonomi politik di masa transisi demokrasi ini. 

Setelah kepemimpinan nasional diperoleh melalui proses yang relatif demokratis, agenda-agenda kekuasaannya justru sulit menunjukkan perbedaan dengan rezim kekuasaan sebelumnya. 

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved