Tribunners / Citizen Journalism
Mencari Format Penyelesaian yang Adil dan Bermartabat terhadap Permasalahan Papua
Otsus semestinya dilihat sebagai bagian dari hak menentukan nasib sendiri (mengurus diri sendiri) secara mandiri di dalam yurisdiksi NKRI.
Padahal, Belanda hanya menggunakan politik etis kolonialnya dengan menjanjikan kemerdekaan bagi orang Papua.
Seperti menamakan negara yang akan dibentuk sebagai Papua Barat (West Papua), membentuk bendera kebangsaan yaitu bintang kejora, membentuk lagu kebangsaan bernama “Hai Tanahku Papua,” menciptakan mata uang sendiri “Nederlandsche Nieuw Guinea Gulden,” dan membentuk parlemen dengan nama “dewan Papua” (Niew Guinea raad).
Padahal mereka menyembunyikan maksud sesungguhnya yaitu menjadikan Papua sebagai imperium barunya, karena tergiur dengan kekayaan alam yang terkandung, baik di atas maupun di bawah perut bumi Papua.
Hal itu terbukti, selama Belanda beroperasi di irian barat (Papua), sudah berjuta barel minyak yang dieksploitasi perusahaan minyak Belanda (sheel) yang bermetamorfosis menjadi NNGPM (Nederland New Guinea Petroleum Maskapai) yang waktu kepulangannya kembali ke Belanda tidak mampu membayar hak-hak buruh yang bekerja pada perusahaan tersebut, menurut catatan kami, eks karyawan NNGPM tersebut berjumlah lebih dari 5.000 orang.
Jadi Belanda itu hanya menampilkan dua wajah yang berbeda, yaitu satu wajah kepada rakyatnya di Belanda yang ditampilkan sebagai kolonialis, tetapi sebaliknya kepada orang Papua, Belanda menampilkan wajah humanis yang seolah membela orang Papua.
Sehingga memberikan citra kepada orang Papua, seolah Belanda itu sungguh-sungguh hadir di Papua untuk mempersiapkan kemerdekaan bagi orang Papua.
Pertanyaannya, seandainya Belanda benar-benar ingin berjuang untuk kemerdekaan bangsa Papua, mengapa dia tidak berjuang dengan sungguh-sungguh membela nasib Papua sebagai bekas jajahannya di dalam forum apapun juga, termasuk forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)?
Dalam hal ini, nampak berbeda antara Belanda dengan Portugal dalam melihat bekas jajahannya. Portugal selepas menjajah Timor Timur justru menempatkan wilayah itu sebagai daerah tidak bertuan, sehingga patut diperjuangkan agar memperoleh hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
Portugal pun menganggap bergabungnya Timor Timur sebagai salah satu provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1976, sebagai tindakan aneksasi Indonesia.
Maka Portugal pun mengerahkan semua sumber dayanya untuk berjuang demi tegaknya keadilan bagi rakyat Timor Timur, agar bisa mengurus dirinya secara mandiri dalam bentuk pemerintahan sendiri di luar NKRI.
Sebagaimana hasil referendum tahun 1999 yang akhirnya Timor Timur menjadi negara merdeka.
Sementara Belanda tidak melihat Papua sebagai wilayah yang juga memiliki hak yang sama seperti Timor Timur, malah sebaliknya justru berkonspirasi dengan Amerika serikat dan PBB menyerahkan Papua menjadi bagian NKRI.
Oleh karena itu, orang Papua semestinya tidak percaya pada Belanda lagi, kenapa? Karena Belanda itu pembohong.
Meskipun telah ada penelitian dari Profesor Drooglever, yang menyimpulkan bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 adalah curang. Namun ternyata hasil penelitian itu tidak berdampak politis apapun terhadap masalah Papua.
Sebaliknya, seharusnya orang Papua berterima kasih kepada Bung Karno yang mati-matian mempertaruhkan jiwa raganya untuk membebaskan saudara-saudaranya di Irian Barat (Papua sekarang), dari belenggu kolonialisme Belanda saat itu.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.