Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Kasus Djoko Tjandra

Amputasi Gurita Djoko Tjandra

"Korban" amputasi pertama adalah oknum di birokrasi, yakni Lurah Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Asep Subahan.

Editor: Hasanudin Aco
Ist/Tribunnews.com
Sumaryoto Padmodiningrat. 

Oleh: Dr Sumaryoto Padmodiningrat MM

TRIBUNNEWS.COM - Ibarat gurita, kaki-kaki Djoko Tjandra menjulur ke mana-mana. Ke Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Mahkamah Agung (MA), birokrasi, advokat, bahkan hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Terjadilah efek domino.

Kini, kaki-kaki gurita itu sedang coba diamputasi.

"Korban" amputasi pertama adalah oknum di birokrasi, yakni Lurah Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Asep Subahan.

Asep dicopot dari jabatannya gara-gara memfasilitasi pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Djoko Soegiarto Tjandra yang dalam KTP baru itu namanya tertulis Joko Soegiarto Tjandra.

Tentu pencopotan ini tidak cukup, tetapi harus ditelisik unsur pidananya dan dugaan aliran dana dari buronan terpidana dua tahun penjara dalam kasus cessie atau pengalihan hak tagih Bank Bali senilai Rp 904 miliar itu.

Djoko Tjandra
Djoko Tjandra (KOMPAS.com/Ign Haryanto)

Bagaimana Pak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian?

Lalu bagaimana dengan Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Jaksel dan Kepala Dinas Dukcapil DKI Jakarta terkait penerbitan KTP itu?

Apakah mereka tak perlu dicopot? Bagaimana, Pak Tito?

Bagaimana pula dengan Kepala Kantor Imigrasi DKI Jakarta dan Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait penerbitan paspor baru Djoko Tjandra yang sudah berkewarganegaraan Papua Nugini, apa mereka akan adem-ayem saja?

Begitu pun terkait lolosnya Djoko Tjandra masuk-keluar Indonesia? Bagaimana Pak Menkumham Yasonna Laoly?

Apakah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan juga akan luput dari pemeriksaan setelah membiarkan Djoko Tjandra mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) pada 8 Juni 2020 tanpa menangkap buronan itu?

Bagaimana Komisi Yudisial (KY) dan Ketua Muda MA Bidang Pengawasan?

Di Polri, "korban" amputasinya adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Mabes Polri Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo yang memfasilitasi Djoko Tjandra terkait penerbitan surat jalan dan surat keterangan bebas Covid-19.

Prasetijo yang tidak setia dengan Tri Brata-nya ini dicopot dari jabatannya, bahkan sejak Senin (27/7/2020) ditetapkan sebagai tersangka.

Polri juga sudah mencopot Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Sekretaris National Central Bureau Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo dari jabatan masing-masing.

Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan akan ada tersangka lain, dan pihaknya pun akan menelisik dugaan aliran dana dari Djoko Tjandra.

Akankah Jenderal Napoleon dan Jenderal Nugroho menjadi tersangka? Biarlah waktu yang menjawab.

Di Kejaksaan, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Anang Supriatna, dan oknum jaksa bernama Pinangki sedang diusut dugaan keterlibatan mereka dalam kasus pelarian Djoko Tjandra.

Anang diduga bertemu di Jakarta dengan Anita Kolopaking, pengacara Djoko Tjandra. Pinangki diduga bertemu dengan Djoko Tjandra dan Anita di Malaysia. Total ada sembilan oknum jaksa yang diperiksa.

Sayangnya, yang mengusut perkara ini pihak Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), sehingga bisa jadi akan ibarat "jeruk makan jeruk".

Di jajaran advokat, Anita Kolopaking sudah diperiksa pihak Jamwas Kejagung. Lagi-lagi, sayangnya yang memeriksa Anita pihak Jamwas, bukan Bareskrim atau katakanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sehingga bisa jadi ibarat "jeruk makan jeruk" pula, karena Anita menyebut Kajari Jaksel Anang Supriatna sebagai kawan.

KPK pernah menjerat Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto, Ketua DPR saat itu, dengan Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena merintangi penyidikan atau obstruction of justice dengan memfasilitasi pelarian tersangka korupsi proyek KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri itu.

Di tingkat kasasi, MA menghukum Fredrich 7,5 tahun penjara. Anita pun mestinya dijerat dengan pasal ini. Jadi, sudah ada yurisprudensinya. Bagaimana, Pak Kabareskrim dan Pak Jamwas?

Kini, publik juga mendesak pengusutan dugaan pertemuan Anita Kolopaking dengan Ketua MA M Syarifuddin. Apakah nanti Syarifuddin juga terkena efek domino dan menjadi "korban" amputasi Djoko Tjandra? Bagaimana KY? Biarlah waktu yang menjawab.

Di DPR, Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) setelah sebelumnya sempat berseteru dengan Ketua Komisi III DPR Herman Hery.

Masalah ini bermula ketika surat permintaan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) oleh pimpinan Komisi III DPR tidak direspons oleh Azis Syamsuddin.

Menurut Herman Hery, surat permintaan menggelar rapat membahas buronan Djoko Tjandra itu tidak ditandatangani oleh Azis Syamsuddin selaku Wakil Ketua DPR Bidang Korpolkam (Koordinator Politik dan Keamanan).

Azis berdalih, menggelar RDP saat reses melanggar Tata Tertib DPR. Politisi Golkar ini menyarankan Komisi III DPR melakukan pengawasan dengan cara lain.

Akankah Aziz Syamsuddin menjadi "korban" amputasi berikutnya dari Djoko Tjandra? Lagi-lagi biarlah waktu yang menjawab.

Djoko Tjandra versus Harun Masiku

Djoko Tjandra kabur pada 2010 atau semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ketika terpidana korupsi yang kabur di era SBY sedang diusut, kini muncul desakan agar tersangka korupsi yang kabur di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, yakni Harun Masiku juga diusut.

Harun saat ini berstatus buron KPK terkait kasus suap dalam pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR dari PDIP.

Harun disangkakan memberikan suap kepada Wahyu Setiawan saat aktif sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Wahyu ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari 2020 atau sehari setelah Harun tiba di Jakarta.

Kini, Harun masih kabur entah ke mana.

Bila Harun tak ditangkap, langkah Menkumham Yasonna Laoly membawa pulang buronan kasus pembobolan BNI Maria Pauline Lumowa hanya akan dianggap sebagai dagelan saja.

Apalagi, sudah terbukti negara tak berdaya menghadapi Djoko Tjandra. Hampir semua lini, mulai dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif tak kuasa melawan Djoko Tjandra.

* Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved