Rabu, 1 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Cak Nun, Kurang Piknik Kurang Baca!

Emha Ainun Najib, manusia yang “didewakan” oleh Jamaah Ma’iyah, berulang kali tergelincir lidah

Editor: Husein Sanusi
Tribun Jateng/Hermawan Handaka
Ribuan warga Semarang, Jawa Tengah, dan Jamaah Maiyah tumpah ruah memadati Klenteng Sam Poo Kong dalam acara ''Sinau Bareng Cak Nun, Kiai Kanjeng bersama Polda Jateng, Sam Poo Kong, dan Tribun Jateng'' yang belangsung Kamis (18/4/2019) malam. Tribun Jateng/Hermawan Handaka 

Pernyataan di atas membuktikan bahwa Cak Nun tidak luas bacaannya. Tidak seperti yang dibela oleh para pemujanya selama ini. Cak Nun melakukan dekonstruksi atas kemapanan bukan secara masuk akal, tetapi lebih emosional.

Bukti lain Cak Nun tidak luas bacaannya, lebih emosional dari pada rasional, selain riwayat Imam at-Thabari dan Muhammad Sayyid Thanthawi di atas, juga ada banyak riwayat lain. Salah satunya buku ensiklopedi Fiqih yang diterbitkan pemerintah Kuwait.

Dalam ensiklopedia itu disebutkan, Malam Lailatul Qadar itu tidak saja terjadi di masa kerasulan Nabi Muhammad saw, tetapi juga sudah berlangsung berabad-abad lamanya sejak masa nabi-nabi sebelumnya (Wizarah al-Awqaf wa al-Syuun al-Islamiyah, al-Mawsu'ah al-Fiqhiyah, juz 35, Bab Kifayah Lailatul Qadar, Kuwait, 1995, h. 363).

Penjelasan Lailatul Qadar sudah berlangsung dari masa sebelum Nabi Muhammad, itu terekam dari hadits Abu Dzar:

Abu Dzar menghadap Rasulullah saw dan bertanya: "Wahai Rasulullah, ceritakanlah padaku tentang Malam Lailatul Qadar. Apakah ia akan turun setiap datang Bulan Ramadhan?"

Rasulullah saw menjawab: "Ya."

Abu Dzar Bertanya lagi, "apakah Malam Lailatul Qadar itu itu hanya terjadi pada saat para Nabi masih hidup, lalu setelah para Nabi itu wafat, Malam Lailatul Qadar juga tidak terjadi? Ataukah ia akan terus berlangsung sampai Hari Kiamat?"

Rasulullah saw bersabda: "Tidak. Ia (Malam Lailatul Qadar) akan terus terjadi sampai Hari Kiamat." (Imam AN-Nasai, al-Kubra, 2/278).

Sampai di sini, menyebut Malam Lailatul Qadar sudah selesai dan tidak akan pernah terjadi lagi di masa yang akan datang, ditambah penegasan tidak ada informasi tentang itu, sungguh menyalahi sejarah. Penulis mengamati, Cak Nun memang budayawan, penyair, essais. Apapun yang dilakukannya menjadi sah karena bertujuan untuk menghibur jamaahnya yang dirundung resah dan gelisah.

Dalam posisi sebagai sastrawan, Cak Nun dapat dimengerti. Ia bertujuan membawa ide alternatif yang entertainmen. Namun, dalam posisi sebagai ilmuan, Cak Nun tidak “jujur”, dengan mengatakan bahwa pandangan dirinya itu pernah ada dalam sejarah intelektual. Sebab, sebagian ulama memang sudah mengatakan, Lailatul Qadar itu sudah selesai dan tidak akan pernah ada lagi. Mirip pandangan Cak Nun. Lantas, itu pemikirannya siapa?

Ibnu Hajar mengutip Imam al-Mutawalli dalam kitab al-Tatimmah, "pandangan Malam Lailatul Qadar tidak ada datang dari kalangan Syi'ah Rafidhah." Kemudian Ibnu Hajar juga mengutip pandangan al-Fakihani dalam Syarh al-‘Umdah, "ulama yang mengatakan Malam Lailatul Qadar sudah tidak ada lagi, itu berasal dari aliran al-Hanafiyah. Itu pandangan yang salah," (Wizarah al-Awqaf wa al-Syuun al-Islamiyah, al-Mawsu'ah al-Fiqhiyah, juz 35, Bab Kifayah Lailatul Qadar, Kuwait, 1995, h. 363).

Sudah jelas di sini, perdebatan intelektual yang mengatakan Lailatal Qadar itu tidak ada, berasal dari golongan Syi’ah yang menyimpang (Rafidhah).

Sejak zaman Sahabat pun sudah ada perdebatan itu. Abdur Razaq meriwayatkan dari Abdullah bin Yahnas, suatu hari ia bertanya pada Abu Hurairah ra., "orang-orang banyak beranggapan (za'amu) bahwa Lailatul Qadar itu sudah selesai?" Abu Hurairah menjawab: "dusta orang yang bilang begitu," (Mushannaf ABdur Razaq, 4/254-255; Fathul Bari, 4/63; al-Majmu', 6/448).

Akhir kata, penulis ingin menegaskan, memberikan alternatif wacana yang lemah dan dha’if itu sah-sah saja, tentu selama menyertakan keterangan ada banyak pendapat lain yang lebih kuat. Tanpa begitu, maka tradisi berpikir ilmiah menjadi rapuh, terjatuh pada tradisi berpikir yang emosional, sehingga berdampak pada pencitraan negatif tradisi yang sudah kuat. Atas nama kebebasan berpikir, seseorang tidak lantas boleh menawarkan kondisi yang chauvinistik. Setidaknya tidak membuat gaduh masyaralat sejak dalam opini. Wallahu a’lam bis shawab.

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved