Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Omnibus Law Cipta Kerja

Menimbang Manfaat dan Mudarat Demo Buruh dan Omnibus Law Cipta Kerja

Aksi buruh akan dipusatkan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, dan diikuti oleh 30-50 ribu buruh dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Editor: Hasanudin Aco

Oleh: Dr Anwar Budiman SH MH

TRIBUNNEWS.COM - Dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah.

Jika pemerintah dan buruh saling ngotot, rakyatlah yang akan menjadi korban.

Sebab itu, perlu dipertimbangkan lebih seksama lagi manfaat dan mudarat Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang sedang dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dan rencana aksi puluhan ribu buruh untuk menolak RUU tersebut.

Hari-hari ini adalah hari-hari yang sangat krusial menanti apakah aksi buruh akan jadi digelar atau tidak pada 30 April 2020 yang juga dikaitkan dengan May Day atau Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei 2020.

Aksi buruh akan dipusatkan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, dan diikuti oleh 30-50 ribu buruh dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi atau Jabodetabek.

Aksi yang akan diikuti oleh puluhan ribu buruh juga akan digelar di 20 provinsi lain di Indonesia yang dipusatkan di kantor gubernur dan DPRD setempat.

Buruh menunggu keputusan Presiden Joko Widodo apakah akan menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja atau tidak sebelum 30 April 2020.

Bila Presiden Jokowi tidak menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, maka buruh akan tetap beraksi, mengabaikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sedang diterapkan pemerintah terkait wabah Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19.

Bila keputusan Presiden Jokowi berseberangan dengan buruh, sehingga aksi demonstrasi puluhan ribu buruh jadi digelar, maka sudah dapat dibayangkan apa yang akan terjadi.

Pertama, meski pimpinan serikat buruh berjanji massanya akan mematuhi aturan PSBB seperti physical distancing (jaga jarak) 1-2 meter, namun dalam praktiknya di lapangan diyakini akan sulit diwujudkan.

Maka penyebaran wabah Covid-19 pun berpotensi menjadi lebih besar. Rakyatlah yang akan menanggung kerugian.

Bila wabah Corono terus berlanjut, buruh jugalah yang akan menjadi korban.

Saat ini saja jumlah buruh yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) sudah berkisar di angka 3 juta. Bila wabah Corona terus berlanjut, diprediksi 7 juta buruh akan ter-PHK.

Kedua, ini memang bulan suci Ramadan di mana umat Islam menunaikan ibadah puasa, termasuk buruh dan aparat keamanan yang menjaga aksi.

Meski dalam puasa diperintahkan untuk bersabar, tapi di lapangan hal tersebut akan sulit diwujudkan.

Aksi demo berpotensi ricuh bahkan chaos. Lagi-lagi, rakyatlah yang akan dirugikan. Buruh adalah rakyat.

Aparat keamanan seperti Polri dan TNI juga rakyat. Bila mereka berbenturan, rakyatlah yang akan menjadi korban.

Itulah mudarat dari aksi demo yang kemungkinan akan digelar buruh. Sedangkan dalam persepsi buruh, aksi itu akan membawa manfaat bagi mereka, yakni dihentikannya pembahasan RUU Omnibus Law yang akan merugikan posisi buruh.

Lalu, apa mudaratnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, sehingga buruh ngotot menolaknya? Di mata buruh, ada beberapa poin penting yang akan merugikan kaum buruh.

Pertama adalah masalah upah. Masalah upah ini akan menghapus upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten (UMSK).

Berkaitan dengan upah, Omnibus Law itu mengatur pemberian upah berdasarkan jam kerja.

Pengusaha bisa membayar buruh secara jam-jaman jika buruh bekerja di bawah 40 jam. Hal ini akan menjadi peluang para pengusaha untuk membayar buruh lebih murah.

Omnibus Law Cipta Kerja juga tidak mengatur sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang tidak memberikan hak buruh. Hal ini justru akan membuat semakin banyak perusahaan yang tidak memberikan hak buruhnya.

Lalu soal pesangon, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur ketentuan pesangon, namun di dalam Omnibus Law kondisi ini dikurangkan.

Omnibus Law itu juga memperbolehkan perusahaan mempekerjakan outsourcing (alih daya) dan pekerja kontrak tanpa batasan waktu dan jenis pekerjaan. Hal ini bisa merugikan seluruh kaum buruh.

Jam kerja juga tidak diatur dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Buruh juga menolak diperbolehkannya tenaga kerja asing (TKA) tanpa batasan bidang pekerjaan.

Sebab itu, buruh tidak hanya mendesak penghentian pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, tetapi juga mencabut RUU itu dan kemudian memulai pembahasan dari nol dengan melibatkan buruh di samping pemerintah dan pengusaha.

Buruh merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Lalu, apa manfaatnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja sehingga pemerintah dan DPR RI ngotot tetap melakukan pembahasan di tengah pandemi Covid-19?

Di mata pemerintah dan DPR RI, RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.

Setidaknya ada tiga manfaat dari penerapan Omnibus Law itu. Pertama, menghilangkan over lapping atau tumpang-tindih antar peraturan perundang-undangan. 

Kedua, efisiensi proses perubahan/pencabutan peraturan perundang-undangan. Ketiga, menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Pemerintah dan buruh memang punya pandangan masing-masing soal Omnibus Law Cipta Kerja. Namun demi keselamatan rakyat, hendaknya kedua pihak mengesampingkan dulu ego masing-masing.

Pemerintah dan DPR RI hendaknya segera menghentikan sementara pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja sampai wabah Corona ini berakhir.

Apalagi RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak menjadi prioritas investor untuk saat ini. Di tengah pandemi, investor justru mengharapkan kebijakan yang mampu menanggulangi Covid-19 dengan cepat.

Di pihak lain, buruh perlu memberi waktu pemerintah untuk mengambil keputusan terbaik, dan dalam tenggat itu seyogianya buruh tidak menggelar aksi demo sampai pandemi Covid-19 ini berlalu.

Alhasil, utamakan keselamatan rakyat, karena keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, salus populi supreme lex.

* Dr Anwar Budiman SH MH: Praktisi Hukum, Aktivis Buruh, dan Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved