Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Membaca KH. Imam Jazuli dari Leadership dan Kiprahnya

Sudah lebih dari 1000 pelajar Indonesia yang dikirim ke luar negeri untuk berbagai bidang study. Global Overseas memiliki jaringan luas.

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
KH Imam Jazuli menyampaikan sambutan di acara Haul KH Anas Sirajuddin 

Mulanya, ide yang sedemikian “without-the box” pasti dinilai mustahil oleh sebagian besar orang. Mana bisa sekolah di pesantren berbiaya tidak mahal, jauh dari Jakarta, wali santrinya beragam kelasnya, ditambah lagi dengan kecerdasan santrinya juga tidak seragam?

Tapi, kiprah dan leadership Kiai mengatakan pertanyaan demikin salah. Kini, sudah 70% alumni SMK Bina Insan Mulia tersebar di beberapa kampus bagus di Mesir, Sudan, Oman, Turkey, China, Thailand, dan beberapa negara lain.  10 tahun ke depan, yakin sekali saya ada sejumlah doctor lulusan  kampus terbaik di luar negeri dari alumni Bina Insan Mulia, baik dari SMK atau MAUBI (Madrasah Aliyah Unggulan Bertaraf Internansional).

Mendorong alumni untuk study ke luar negeri rupanya menjadi jawaban kenapa sejak awal Pesantren Bina Insan Mulia lebih memprioritaskan bahasa Inggris ketimbang bahasa Arab, padahal 99 % pesantren di Indonesia melakukan hal yang sebaliknya?

Tak hanya soal pilihan bahasa yang direvolusi. Tatanan kurikulum pun dirombak. Jam pelajaran dipotong, jumlah mata pelajaran dipangkas. Sisanya, santri diajar berpikir focus pada tujuan, cita-cita, atau visi melalui program yang telah disiapkan.

Dari interaksi saya dengan dunia pesantren sejak 1993, saya bisa pastikan Kiai Jazuli menjadi kiai terdepan yang menyadari pentingnya melakukan training secara rutin dan terprogram terhadap kualitas SDM para guru. Trainingnya terkadang di hotel, vila, atau di Pesantren. 

Sejak lima tahun lalu, saya diminta untuk menjadi narasumber tetap bidang pengembangan soft skills untuk para guru dan pembimbing. Materinya dirancang dari motivasi, kompetensi, kerjasama tim, kepemimpinan, dan keorganisasian. Intinya, training tersebut dirancang sebagai bantuan untuk para guru agar menjadi tim yang berintegritas, smart, loyal, dan peduli. 

Acara haul yang di pesantren lain diisi dengan ritual keagamaan full, tapi di Bina Insan Mulia total berubah. Agenda haul dirancang untuk memotivasi para santri di berbagai perlombaan, mengundang berbagai klub olahraga dan music dari Cirebon dan sekitarnya, mendatangkan para masyayikh dari Al-Azhar Kairo, atau tokoh nasional. Yang selalu di nanti masyarakat adalah kehadiran artis nasional dari ibu kota.

Sejak 2018, Pesantren Bina Insan Mulai juga membuka program baru yang “without the-box”, yaitu Pesantren Janda dimana saya termasuk di dalamnya. Pesantren Janda berangkat dari kepedulian Kiai untuk membekali para janda dengan keterampilan ekonomi, manajemen psikologis, dan pemantapan keimanan (spiritual). 

INOVASI EKSTERNAL 

Meski sudah memutuskan untuk tidak aktif secara praktis di organisasi apapun kecuali mengasuh Pesantren, tapi suara hatinya sebagai pejuang public tetap tidak terbendung. Kiai mengajak dunia pesantren untuk menyikapi realitas secara progresif dengan melakukan langkah-langkah inovatif. Kalau perlu harus revolusioner!

Menganugerahkan gelar doktor honoris causa pesantren (2017) adalah gebrakan awal yang mencengangkan dunai pesantren dan kampus. Saya menyebutnya sebagai the big bang! Bayangkan, sejak pesantren dikenal di nusantara 400 tahun lalu, baru ada satu kiai yang berpikir tentang ini.

Tentu, awalnya semua orang akan melihat ini sebagai pelanggaran atau sesuatu yang “meng-ada-ada”. Tapi, saya sebagai penerima pertama gelar itu, kami satu pemahaman. Honoris causa pesantren adalah simbol penghargaan yang mestinya perlu diberikan oleh santri-santri berprestasi di bidang ilmu pengetahuan dari pesantren. Kiai Jazuli mengajak pesantren-pesantren untuk menghidupkan tradisi ini.

Sampai hari ini, saya sangat nyaman dan ‘pede’ untuk menggunakan symbol penghargaan itu di sejumlah agenda perusahaan, kementerian, sekolah, atau kampus yang mengundang saya. Kebetulan, peserta training saya rata-rata S2.

Kiai juga mendorong kiai lain dan alumni pesantren yang telah memiliki kekuatan di masyarakat untuk melek politik. “Tidak satu pun ayat al-Quran yang ketika hendak dibumikan di alam realitas kecuali membutuhkan kekuatan politik, uang, budaya, dan manusia. Mana bisa kita shalat Jum’at kalau kita hidup di Korea Utara? Kenapa? Karena tidak punya kekuatan politik,” demikian kira-kira materi diskusi kami dalam berbagai kesempatan.

Berangkat dari pemikiran itulah Kiai menunjuk saya untuk ikut mendirikan Sekolah Politik Bina Insan Mulia. Sekolah ini telah mentraining ratusan tokoh masyarakat dari seluruh Indonesia dengan latar belakang partai yang bermacam-macam agar mereka menang dalam pertarungan politik sebagai legislator. Tujuannya adalah memperjuangkan kepentingan bangsa yang mayoritas umat Islam.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved