Tribunners / Citizen Journalism
Harlah NU ke-94, Momentum Reinterpretasi Khittah PKB=NU / NU=PKB
Setelah NU berusia hampir satu abad, banyak prestasi yang ditorehkan untuk bangsa ini. Pertama, NU turut serta dan aktif dalam usaha kemerdekaan
Keempat, kondisi yang dialami oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan mempengaruhi pencitraan masyarakat terhadap NU karena partai ini dilahirkan dari rahim NU. Meskipun secara organisatoris sudah independen dan NU menyatakan diri ke khittah 1926, NU tetap menginginkan PKB kuat. Namun harus diakui, dalam prakteknya hubungan antara PKB dengan NU sering mengalami kendala. Padahal nyata, ketika didirikan oleh NU, PKB bisa dikatakan sebagai sayap politik NU, tetapi situasi ini, tak dipungkiri perlahan mulai berubah. Tidak jarang komunikasi dengan NU hanya dapat dikatakan sebagai komunikasi antar pribadi saja.
Karena itu, semua pihak perlu duduk bersama dan perkuat komunikasi demi kepentingan yang lebih besar. Apalagi saat ini warga Nahdliyin mengalami kekecewaan pada periode kedua pemerintahan Jokowi yang meninggalkan NU. Maka inilah momentum NU memobilisasi dan menjadikan aset besar untuk mengubah peta politik nasional di masa yang akan datang.
Kendala lain yang sangat delematis adalah, kebanyakan Nahdliyin masih belum bisa mendudukkan dengan jernih dimana seharusnya posisi PKB berada dan dimana letak amanah Khittah NU 1984. Perkembangan yang terjadi belakangan, sebagian ada yang menganggap Nahdliyin sudah konsisten dengan khittah NU dimana PKB tidak ada hubungan struktural dengan NU dan warga NU bebas memilih partai apa saja. Banyak yang mengartikan khittah dengan pengertian bahwa warga NU bebas dalam berpartai dan NU tidak kemana-mana, tapi ada dimana-mana. Kata-kata seperti itu sudah kesiangan.
Penulis lebih setuju jika arti khittah dimaknai sebagai keputusan muktamar tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur, bahwa NU keluar dari partai politik praktis, NU kembali sebagaimana NU 1926. Setelah keluar dari partai politik dan belum sempat mendirikan partai politik utuk warganya, maka dengan sangat terpaksa warga NU berada dimana-mana, logikanya apakah orang akan masih terus ngontrak di rumah orang lain? Sedangkan sekarang sudah punya rumah sendiri. Kalau NU membiarkan warganya kemana-mana, kenapa susah-susah membuat rumah?
Cara pandang praktis seperti di atas penting dan perlu. Jadi menurut hemat penulis, tafsir Khittah ini mendesak diinterprestasi pada Muktamar Lampung mendatang. Karena jika mereka menempatkan pada posisi yang salah, ini justru bisa membenamkan NU dalam kancah politik nasional dan akan merugikan warga Nahdliyin, baik di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi. Karena hari ini kita sadar, cita-cita kesejahteraan sosial, puncaknya ada di lingkaran kekuasaan.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin mengucapkan selamat atas harlah NU ke 94. Semoga ultah ini menjadi momentum move on warga Nahdliyin untuk melahirkan kesadaran sepenuh hati, “sudah saatnya NU di depan dan memimpin,” serta menjadi bagian penting dalam kancah politik Nasional dengan cara yang paling sederhana, “memPKB-kan seluruh warga Nahdliyin.” Sekalagi lagi ultah ke 94 adalah momentum reinterprestasi Khittah PKB=NU/NU=PKB sebuah keniscayaan. Wallahu ‘alam bisshawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.