Tribunners / Citizen Journalism
Habis Terang Terbitlah Gelap
Melihat cara dan gaya orang Indonesia dalam melihat sejarah secara umum bisa dibedakan antara kelompok orang yang sekedar melihat " tokoh"
Oleh: Patricia Leila Roose
Melihat cara dan gaya orang Indonesia dalam melihat sejarah secara umum bisa dibedakan antara kelompok orang yang sekedar melihat " tokoh" dalam peristiwa dan orang yang melihat " pokok" dalam peristiwa.
Orang-orang Indonesia seperti kebanyakan negeri dunia ketiga lainnya, lebih melihat tokoh peristiwa daripada pokok peristiwa.
Maka tidak mengherankan umumnya orang Indonesia mengenal dengan baik tokoh dalam sejarah dan bukan pokok dalam sejarah.
Sebagai ciri dalam masyarakat feodal lebih melihat, mengagungkan dan mengagumi tokoh dibanding pokok di dalam peristiwa itu.
Cara pandang demikian memiliki beberapa kelemahan antara lain; konsentrasi melihat sepak terjang sang tokoh dan apa yang menjadi gaya serta kontroversi dari tokoh tersebut.
Inilah barangkali yang menyebabkan sesuatu yang muncul berwujud pikiran, konsep dan penalarannya, tidak pernah diingat dan dipikirkan.
Barangkali karena pola klien-patron yang kuat di dalam masyarakat Indonesia dan kebiasaan memperdebatkan ide masih belum menjadi budaya kita.
Tapi di dalam masyarakat yang lebih rasional cenderung melihat "pokok" peristiwanya. Yaitu mengedepankan pergulatan pemikiran yang terjadi, polemik ide dengan siapa, tantangan-tantangan apa yang dihadapi serta gagasan revolusioner apa yang pernah dilahirkan.
Jadi posisi tokoh menurut cara pandang ini hanya dilihat sebagai bagian dari pergulatan peristiwa. Maka tidak heran apabila di dalam menentukan dan menetapkan hari besar nasional di Indonesia, pendekatan yang dipakai lebih menekankan pada tokoh atau heroisme di dalam peristiwa itu, dan tidak menempatkan pokok peristiwa sebagai penentuan hari besar nasional.
Sebagai contoh hari Pendidikan Nasional dimaknai sebagai hari lahir Ki Hajar Dewantara semata, bukan kesadaran serentak rakyat melawan sistem pendidikan kolonial pada saat mendirikan sekolah-sekolah sarekat rakyat.
Penetapan hari ibu adalah contoh lain dari pemaknaan hari nasional yang sengaja direduksi maknanya menjadi sekedar ada kegiatan perempuan pada tanggal 22 Desember 1928 itu.
Cukup dengan penetapannya sebagai hari besar nasional seolah-olah ingin menunjukkan pada publik bahwa kaum perempuan juga beraktifitas dan berdaya pada zaman kolonial itu.
Jarang diantara kita yang mengetahui bahwa pada konggres perempuan pertama melahirkan keputusan-keputusan penting. Tanggalnya sudah tepat tapi pemaknaannya perlu ditinjau ulang.
Dari berbagai sumber sejarah yang cukup meyakinkan ternyata muncul ide-ide yang revolusioner di dalam konggres perempuan pertama itu. Salah satu ide progresif yang muncul yaitu semangat anti poligami.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.