Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Dinasti Politik, Salahkah?

Putri Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, mencalonkan diri sebagai Walikota Tangerang Selatan, Banten.

Editor: Hasanudin Aco
Ist/Tribunnews.com
Sumaryoto Padmodiningrat. 

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - Dua anggota keluarga Presiden Joko Widodo, yakni satu anak, Gibran Rakabuming Raka, dan satu menantu, Bobby Nasution, mencalonkan diri sebagai Walikota Surakarta, Jawa Tengah, dan Walikota Medan, Sumatera Utara.

Putri Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, mencalonkan diri sebagai Walikota Tangerang Selatan, Banten.

Dua istri Wakil Bupati Blitar, Jawa Timur, Marhaenis Urip Widodo, yakni Halla Unariyanti (48) dan Fendriana Anitasari (33), dilantik sebagai kepala desa di Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar.

Halla Unariyanti selaku istri pertama terpilih kembali sebagai Kepala Desa Bendosewu, sedangkan Fendriana Anitasari selaku istri kedua terpilih kembali menjadi Kepala Desa Wonorejo.

Ruang-ruang publik, terutama dunia maya, kemudian sarat dengan tudingan adanya upaya membangun dinasti politik.

Namun, baik Presiden Jokowi, Wapres Ma’ruf Amin maupun Wabup Blitar Marhaenis Urip Widodo membantah sedang membangun dinasti politik.

Tahun 195 SM, Plautus dalam karyanya berjudul “Asinaria” menulis “homo homini lupus” yang artinya, "manusia adalah serigala bagi manusia lainnya", yang kemudian dikutip Thomas Hobbes (1588-1679) dalam karyanya “De Cive” (1651).

Lalu, salahkah dinasti politik?

Sistem demokrasi yang dianut Indonesia saat ini, yakni demokrasi langsung yang meniscayakan one man one vote (satu orang satu suara), diakui atau tidak, mengarah ke demokrasi liberal yang bermuara pada hukum rimba sebagaimana dimaksud Plautus dan Thomas Hobbes.

Siapa yang kuat, dialah yang menang.

Demokrasi Pancasila, yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat pun dinafikan.

Maka ketika ada pihak-pihak yang mencoba membangun dinasti politik, patutkah disalahkan, ketika tak ada satu pun undang-undang yang dilanggar?

Kalau memang salah, mestinya salahkan dulu dinasti politik Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten.

Selain pernah menguasai kursi eksekutif di Provinsi Banten, dinasti ini juga memiliki kursi legislatif baik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Salahkan pula dinasti politik Dimyati Natakusuma di Pandeglang, Banten, dan Yasin Limpo di Sulawesi Selatan yang menguasai kursi eksekutif, dan juga legislatif baik di DPRD maupun DPR RI.

Memang, sistem pemilihan langsung, baik pemilihan umum legislatif (pileg), pemilihan umum kepala daerah (pilkada), maupun pemilihan umum presiden (pilpres) meniscayakan berlakunya hukum rimba: siapa yang kuat, dialah yang menang.

Sebab itu, jangan heran bila ada bapak-anak, suami-istri, kakak-adik atau sanak-saudara sama-sama duduk di lembaga eksekutif atau pun legislatif dalam waktu bersamaan atau berurutan.

Mereka yang punya modal politik dan finansial-lah yang akan menang dalam pemilu.

Simak pula komposisi keanggotaan DPR RI yang banyak diisi sosok-sosok elite partai politik dan pengusaha atau “penguasa”.

Ada 262 orang atau 45,5% dari 575 anggota DPR RI periode 2019-2024 yang menduduki posisi penting di perusahaan. Banyak pula elite politik dan pengusaha yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Sebab, antara calon dan konstituen sudah terbangun hubungan simbiose mutualisme atau saling menguntungkan: anda butuh suara, kami perlu uang.

Maraknya kasus money politics (politik uang) dalam setiap gelaran pemilu menjadi bukti akan kebenaran aksioma ini.

Sistem demokrasi yang dianut Indonesia pun melahirkan dua jenis “bangsawan” baru, yakni elite parpol dan pengusaha.

Maka bila ingin menjadi "bangsawan" untuk kemudian duduk di singgasana kekuasaan, baik eksekutif mupun legislatif, jadilah elite parpol atau pengusaha terlebih dulu.

Kalau bukan putrinya Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP yang juga Presiden ke-5 RI, mungkinkah dengan mudah Puan Maharani terpilih menjadi anggota DPR RI, kemudian Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan sekarang Ketua DPR RI?

Kalau bukan putra-putrinya Amien Rais, mantan Ketua MPR RI dan Ketua Majelis Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), mungkinkah dengan mudah Hanafi Rais dan Mumtaz Rais terpilih menjadi anggota DPR RI, dan Hanum Rais terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi DI Yogyakarta?

Kalau bukan putranya Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat yang juga Presiden ke-6 RI, mungkinkah dengan mudah Edhie Baskoro Yudhoyono terpilih menjadi anggota DPR RI?

Kalau bukan putranya Surya Paloh, pengusaha yang juga Ketua Umum Partai Nasdem, mungkinkah dengan mudah Prananda Paloh terpilih menjadi anggota DPR RI?

Soal dinasti politik, secara yuridis memang tak ada yang salah. Tapi kalau Presiden Jokowi ingin berbeda dengan elite politik lain seperti Megawati, SBY, Amien Rais, atau Surya Paloh, hendaknya ia mengurungkan niat anak dan menantunya yang maju sebagai calon walikota.

Begitu pun Wapres Mar’uf Amin, hendaknya mengurungkan niat putrinya yang maju sebagai calon walikota Tangsel.Tapi ini hanya soal etika dan fatsoen politik saja. Soal yuridis, tak ada yang salah.

Di sisi lain, sistem politik yang dianut Indonesia saat ini juga menumbuhsuburkan praktik korupsi, baik di eksekutif maupun legislatif. Ceritanya, supaya terpilih dalam pemilu maka sang calon menebar money politics.

Begitu terpilih, yang pertama kali muncul dalam benak mereka adalah bagaimana agar bisa balik modal. Setelah balik modal, mereka berpikir lagi bagaimana mencari modal baru agar terpilih kembali di pemilu berikutnya.

Maka segala cara pun dihalalkan, termasuk korupsi dengan berbagai modus operandi, dan yang baru saja terungkap Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah ada seorang kepala daerah menyembunyikan uang Rp 50 miliar di meja judi kasino di luar negeri.

Sejak pilkada langsung digelar pada 2004 hingga kini, sekitar 375 kepala daerah dan wakil kepala daerah terjerat korupsi. Lebih dari 100 anggota DPR RI dan lebih dari 3.600 anggota DPRD terjerat korupsi. Ini terjadi karena politik identik dengan uang.

Pertanyaannya kini, korupsi yang melanggengkan kekuasaan (dinasti politik) atau kekuasaan yang melanggengkan korupsi? Keduanya mungkin bertali-temali, ibarat pertanyaan lebih dulu mana ada antara telur dan ayam, dan itu berakar pada adagium Lord Acton (1834-1902),

“The power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolut akan absolut pula korupsinya). Nah!

Dr Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved