Tribunners / Citizen Journalism
Jalur Krisis
Rabu, 5 September 2018 saya mengirim data perbandingan situasi ekonomi politik 1997/1998, 2008, 2011, dan 2018 ke hampir 150 wartawan d
Surat berharga ini mengalami gagal bayar dan pemegang surat berharga inipun yakni Subprime Morgage (SPM) mengalami kesulitan keuangan. Karena SPM juga menerbitkan surat utang, maka gagal bayarnya juga mengakibatkan efek berantai. Lalu dunia ramai-ramai menyebutnya sebagai Subprime Morgage Crisis.
Artinya, pandangan masyarakat sedang dikaburkan dari keharusan pada fokus penyebab krisis ke akibatnya. Sebab utamanya adalah kekalahan perang dagang AS yang mengakibatkan defisit perdagangan.
Setahun sebelum defisit itu memuncak, majalah the Economist pada Juni 2007 menyebutkan bahwa AS masih menjadi memimpin disebabkan kekuatan militer, belanja pertahanan yang mencapai 45,7% dari total anggaran, penguasaan industri dan harga minyak dunia, dan industri teknologi, informasi dan komunikasi (ICT).
Pada 2018 belanja militer AS bahkan mencapai 50% dari total, atau sebesar US$4,1 triliun. Obama dan Janet Yellen berupaya menyembuhkan melalui kebijakan keuangan dan moneter. Kendati Obama berteriak buy America, yang justru berdampak ke seluruh dunia adalah kebijakan uang murah, yakni the Fed membeli surat utang pemerintah dan swasta disertai suku bunga mendekati nol persen sehingga dolar AS membanjir ke seluruh dunia.
Resep Obama dan Janet Yellen dianggap tidak terlalu ampuh dan pembelian surat utangpun dihentikan. Maka Trump langsung ke akar masalahnya: atasi defisit perdagangan AS, terutama dengan RRC yang pada akhir 2017 mencapai US$376 miliar.
Caranya, naikkan tarif impor pada komoditas tertentu dan kembali gunakan harga energi sebagai “senjata” karena AS sudah mampu menyediakan sendiri kebutuhan energinya. Untuk jangka pendek, krisis disebabkan defisit perdagangan “sembuh”.
Trump pun menolak kebijakan chairman the Fed Jerome Powell, pengganti Yellen yang ingin menaikkan suku bunga hingga empat kali. Bagi Powell hal itu tergantung pada inflasi dan tingkat pengangguran AS. Jika suku bunga naik lagi, maka dolar AS akan pulang kampung dan dunia usaha di AS lebih bergairah sehingga menurunkan pengangguran. Tapi ini pun tidak boleh melampui batas yang akan mengakibatkan inflasi naik.
Dalam bahasa yang lain, nilai tukar bersaudara kembar dengan suku bunga. Naiknya suku bunga akan diikuti dengan menguatnya nilai tukar. Sedangkan suku bunga bersaudara kandung dengan inflasi. Meningkatnya inflasi akan diimbangi dengan kenaikan suku bunga.
The Fed berpandangan, tingginya inflasi akan mengganggu daya beli sehingga menggangu purchasing manager index, yakni indikator kegiatan usaha yang berarti pula menggangu volume dan nilai transaksi perdagangan. Uraian ini menunjukkan, AS mengalami krisis pada 2008 karena perdagangan yang berdampak pada keuangan atau moneter.
Trump sebagai pebinis properti menyadari pentingnya mengatasi sebab akar krisis. Dalam ilmu ekonomi, ini yang disebut dengan bauran kebijakan fiskal dan moneter.
Dua hal ini berisfat kumulatif dan limitatif karena memang harus saling berkontribusi dan nyaris tidak boleh saling mengurangi. Jika yang terjadi saling mengurangi, yakni suku bunga tinggi dan belanja publik rendah, maka akan terjadi situasi tidak pasti seperti sekarang ini.
Di Indonesia, sebagaimana data yang saya distribusikan menunjukkan, inflasi rendah, suku bunga BI, walau lamban mengikuti melemahnya rupiah, defisit transaksi berjalan (perdagangan dan jasa) mencapai 3,04% dari PDB, cadangan devisa terus merosot dari 130 miliar dolar AS hingga ke 118 miliar.
Rasio utang luar negeri terhadap PDB merangkak naik, keseimbangan primer pada APBN tetap terjadi. Investasi portofolio yang dikuasai asing sebesar 40% terus merosot. Ini yang menunjukkan kita menuju jalur ganda krisis: perdagangan dan keuangan.
Untungnya cadangan devisa masih cukup membiayai impor 6 bulan kedepan sehingga saya menyatakan, luluhnya rupiah bergerak antara Rp15.500-16.000 per US$1, tergantung pada kebijakan the Fed dan kebijakan tarif Trump. Karena memang fundamental makro kita yang rapuh, waktu yang akan menjawab.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.