Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Jalur Krisis

Rabu, 5 September 2018 saya mengirim data perbandingan situasi ekonomi politik 1997/1998, 2008, 2011, dan 2018 ke hampir 150 wartawan d

Editor: Rachmat Hidayat
Tribunnews/Dany Permana
Ichsanuddin Noorsy (kanan) 

Oleh Ichsanuddin Noorsy
 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Rabu, 5 September 2018 saya mengirim data perbandingan situasi ekonomi politik 1997/1998, 2008, 2011, dan 2018 ke hampir 150 wartawan dari berbagai media. Bersama dengan data itu terkirim pula grafik fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam basis data series 1964 hingga 5 September 2018.

Saya tidak menyimpulkan apapun atas data yang saya kirim. Berkaitan dengan data itu, saya melihat hal tersebut bukan merupakan variabel tunggal. Karena itu saya merujuk pendapat lembaga pemeringkat kredit sebelumnya yang meningkatkan peringkat kredit Indonesia ke posisi lebih baik.

Kajian mereka menyusul pujian buat Sri Mulyani yang dihargai sebagai Menteri Keuangan terbaik. Debat soal utang luar negeri pun merujuk pada posisi yang masih aman karena rasio utang terhadap produk domestik bruto 35,3% per Juni 2018. Lalu beredar kajian dari konsultan asing yang menikmati posisi renyahnya pasar Indonesia.

Mereka menyatakan, pada 2050 Indonesia akan menjadi ke empat terbesar dunia. Melihat indeks persaingan pun, Indonesia membaik ke peringkat 36 dari peringkat 41. Namun diakui Presiden Joko Widodo bahwa iklim perekonomian masih diliputi ketidakpastian.

Pengakuan ini sama dengan pengakuan di era Soeharto pada 1990-an. Dalam menghadapai pasar bebas pun, Presiden Joko Widodo menyatakan, kita tidak perlu takut.

Dalam wawancara pagi harinya dengan radio El Shinta dan dengan teve Trans7 saya merespon situasi itu dengan merujuk situasi eksternal, terutama posisi Ameriksa Serikat yang sedang gegap gempita melakukan proteksionis melalui perang dagangnya dengan mitranya sekalipun.

Kebijakan Presiden AS Donald Trump ini pernah saya konfirmasi kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Agus D Martowardoyo saat Seminar Sekolah Pimpinan Perwira Tinggi Kepolisian RI di Jakarta, 19 Oktober 2017. Kepada Menteri Keuangan yang hebat itu saya bertanya, bukankah kebijakan Make America Great Again itu adalah proteksionis dengan dampak deglobalisasi?

Pertanyaan ini sebenarnya mempunyai hubungan dengan krisis yang dihadapi AS pada 2008. Para wartawan yang menerima kirima data saya pun bertanya tentang krisis 10 tahunan. Sebagian publik Indonesia memang menoleh bagaimana krisis 1998 karena kuatir krisis akan terjadi pada 2018.

Sebenarnya data yang kirim sudah menjawab bahwa krisis seperti 1997/1998 tidak terjadi lagi. Tapi kenaikan harga-harga tidak bisa dihindari. Untuk melihat hal ini, kajian jalur krisis menjadi penting.

Dalam tesis akademik, jalur krisis terdiri atas jalur keuangan atau moneter dan jalur perdagangan. Pada krisis 1997/1998 Indonesia mengalami krisis karena jalur keuangan/moneter. Orang mengenalnya dengan krisis nilai tukar. Penyebabnya liberalisasi perbankan yang tidak terkendali dan buruknya pengawasan perbankan.

Dua hal ini saya sebut sebagai moral hazard perbankan karena para bankir selanjutnya merampok bantuan likuiditas perbankan melalui kebijakan penjaminan. Akibatnya industri perbankan nasional nyaris ambruk yang dibuktikan lewat besarnya biaya pemulihan sebesar Rp670 triliun.

Krisis ini “disembuhkan” dengan menjual aset strategis nasional secara obral diikuti dengan liberalisasi berbagai sektor sehingga struktur perekonomian Indoensia makin didominasi swasta asing dan domestik. IMF sebagai “dokter” digugat ke tribun internasional. Kuatnya kritik terhadap IMF dan Mafia Berkeley sebagai penguasa bidang ekonomi sejak 1966 mendorong IMF mengakui bahwa resepnya salah dan minta maaf.

Mafia Berkeley sendiri hingga sekarang tetap berkuasa. Sementar Thailand yang sama-sama “diserang” krisis nilai tukar, kini lebih berjaya.

Bagaimana dengan AS? Krisis di AS 2008 dipicu oleh dua hal, yakni harga minyak yang mencapai US$147 per barel dan defisit perdagangan AS terhadap RRC sebesar US$323 miliar. Defisit ini sudah berlangsung sejak GW Bush menjadi Presiden dan terus membesar hingga puncaknya adalah kekalahan perang dagang AS yang diindikasikan dengan besarnya defisit perdagangan itu.

Akibatnya adalah perusahaan-perusahaan di AS merumahkan para karyawannya, bahkan mereka menutup usaha alias gulung tikar. Efeknya menjalar ke industri keuangan AS, terutama ke Fanni Mae dan Freddy Mac sebagai lembaga keuangan yang memberi kredit rumah murah kepada para pekerja dan sebagai badan usaha keuangan yang menerbitkan surat utang.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved