Tribunners / Citizen Journalism
Mungkinkah Kembali ke UUD Asli?
Sepanjang tahun ini saja, sejak 1 Januari hingga 18 Juli, sebanyak 19 kepala daerah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka.
Data ini belum termasuk kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, serta para penegak hukum yang mendapat sanksi etik. Korupsi di yudikatif juga melibatkan top pimpinan mereka, yakni mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Pendek kata, yudikatif pun ikut berlomba korupsi sebagaimana eksekutif dan legislatif, meskipun mereka tidak dipilih melalui pemilu.
Akibat maraknya korupsi dan konflik antar-lembaga negara, sudah agak lama muncul suara-suara untuk kembali ke UUD 1945 asli atau sebelum diamandemen. Mungkinkah?
Di dalam politik tak ada sesuatu yang tak mungkin, karena politik adalah seni menjajaki kemungkinan-kemungkinan.
Bila rakyat menghendaki, juga tak ada yang tak mungkin. Yang tak boleh diamandemen hanyalah kitab suci agama. Konstitusi sebuah negara, tak haram untuk direvisi, disesuaikan dengan kebutuhan bangsa dan perkembangan zaman.
Sebelum 1999, bukankah UUD 1945 asli juga pernah mengalami perubahan? UUD 1945 disahkan pada 18 Agustus 1945.
Selang empat tahun, atau sejak 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat), dan sejak 17 Agustus 1950 berlaku UUD Sementara (UUDS) 1950.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR RI pada 22 Juli 1959.
Kalau memang MPR RI tak mau mengembalikan konstitusi ke UUD 1945 asli atau sesuai yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, mungkinkah Presiden RI mengeluarkan dekrit?
Sekali lagi, sepanjang rakyat menghendaki, tak ada yang tak mungkin, karena suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei).
Kini, bola ada di tangan MPR dan Presiden.
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO) PT Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.