Tribunners / Citizen Journalism
Penemuan Hukum oleh Hakim dan Implikasi Terhadap Perkembangan Peradilan
Dari sudut pandang sebagian kalangan hakim, mungkin hakim praperadilan dalam Putusan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel dapat dikatakan sebagai sosok y
Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim harus mampu menangkap keadilan hukum (legal justice) dan keadilan masyarakat, sebab apabila penemuan hukum dilakukan dengan dalih bahwa hukum normatif telah gagal meciptakan rasa keadilan, maka penemuan hukum tersebut harus bebas dari unsur kepentingan-kepentingan non hukum.
Disisi lain, penemuan hukum merupakan upaya rule breaking atau keluar dari aturan normatif yang kadang kala diasumsikan sebagai aliran hukum progresif dan sociological jurisprudence yang mendegradasi aspek kepastian hukum.
Implikasi Perkembangan Praperadilan
Keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia, sehingga pada zamanya aturan tentang praperadilan dianggap sebagai bagian dari mahakarya KUHAP.
Namun demikian, dalam perjalanannya ternyata lembaga praperadilan tidak dapat berfungsi secara maksimal karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-ajudikasi.
Fungsi pengawasan yang diperankan pranata praperadilan hanya bersifat post facto sehingga tidak sampai pada penyidikan dan pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur obyektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan.
Hal itu justru menyebabkan praperadilan terjebak hanya pada hal-hal yang bersifat formal dan sebatas masalah, sehingga jauh dari hakikat keberadaan pranata praperadilan (Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, paragraph 3.16 angka 1 huruf a, hlm 104).
Berkaca pada tuntutan perkembangan hukum, saat ini objek praperadilan telah mengalami perkembangan dari sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo Pasal 77 KUHAP.
Mulai dari penemuan hukum oleh hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Putusan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel (penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan), kemudian ternyata menjadi preseden bagi beberapa putusan praperadilan berikutnya, bahkan dalam ranah uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), telah ada beberapa Putusan MK yang menciptakan norma hukum baru yang memperluas objek serta ruang lingkup praperadilan, antara lain sebagai berikut:
1. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 (Penetapan Tersangka, sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan sebagai obyek Praperadilan);
2. Putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015 (Ketentuan Gugurnya Permohonan Praperadilan);
3. Putusan MK Nomor 109/PUU-XIII/2015 (Pembatasan Ruang Lingkup Hukum Materil Praperadilan);
4. Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 (Ketentuan Penyerahan SPDP);
Lebih lanjut, selain karena adanya putusan-putusan MK di atas, penemuan hukum oleh hakim praperadilan yang sebelumnya ternyata dijadikan preseden dan yurisprundensi oleh hakim pada Pengadilan Negeri Ende, dalam Putusan Nomor 02/Pid.Prap/2018/PN.End yang pada intinya menyatakan bahwa, "Pengehentian Penyelidikan sebagai obyek dari praperadilan, karena penyelidikan merupakan kesatuan rangkaian dengan tindakan penyidikan."
Dengan demikian telah terjadi lagi perluasan ruang lingkup dan obyek praperadilan karena penemuan hukum oleh hakim dalam putusannya.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.