Tribunners / Citizen Journalism
20 Tahun Reformasi
20 Tahun Reformasi dan Ketidakpastian Arah Bangsa Kita
Apakah kita harus teruskan arah politik yang saat ini sedang berlangsung, ataukah kita memutar haluan?
Sedangkan kehidupan bebas menciptakan situasi kekacauan dalam tatatn budaya dan keluarga yang
saat ini bertumpu pada budaya timur dan religiusitas. Kedua hal ini bertemu pada suatu titik yang membuat rakyat kebanyakan frustasi. Dalam kefrustasian ini, kerinduan akan tema-tema populisme dari figur yang mencitrakan sosok populis.
“Radikalisme Islam” juga muncul sebagai jawaban atas kefrustasian rakyat. Islam sebagai sebuah
ajaran pembebesan, baik dari sisi pemikiran maupun keibadahan, menjadi jalan pintas buat rakyat yang menderita. Pengajian-pengajian ala Habib Rizieq yang ekstrim sampai kepada pengajian ala “Majlis Rasulullah” yang lebih lembut, semakin menggunung pengikutnya.
“Massvorming” terjadi manakala kegelisahan rakyat bertemu dengan pemimpin idolanya. Pada masa Ahok, yang
menampilkan antitesa dari kelompok Islam ini, benturan terjadi.
Akar peristiwa ini tidak dipahami oleh kebanyakan pengamat barat, yang secara kuktural berbeda dengan kita.
Demokrasi liberal juga mengalami pemusnahan akibat turut campurnya kekuatan oligarki ekonomi
dalam politik.
Demokrasi kita yang berkembang pesat, namun mengarah barbarian dengan menghalalkan segala cara, telah menghilangkan unsur-unsur kebaikan demokrasi seperti pertarungan narasi, ide dan janji politik, menjadi pertarungan pencitraan, uang dan kekerasan.
Hal ini membuat dominasi uang dalam pertarungan menjadi faktor utama. Sehingga, demokrasi yang
dicita-citakan menjadi lumpuh. Semakin kemari, semakin nyata demokrasi hanya menjadi alat bagi pemilik modal untuk menguasai politik, baik eksekutif, yudikatif, maupun pembuat undang-undang.
Bagi pengamat barat seperti Lindsey, misalnya, analisa politik yang dilakukan terlalu normative dan
teksbook. Mereka gagal faham dalam melihat Ahook, misdalnya, hanyalah alat atau proxy pemilik modal yang ingin menguasai total Jakarta, seperti dalam bisnis properti, khususnya, reklamasi, dan menyingkirkan kaum miskin Islam.
Desentralisasi
Pengalaman kita dalam desentralisasi juga harus dipikirkan ulang. Kekuasaan lokal yang berkembang, dengan otoritas kekuasaan yang sangat besar, serta politik uang dalam electoral, menjadikan cita-cita desentralisasi melenceng.
Purwo Santoso dalam bukunya “Rezim Lokal”, 2018, menjelaskan bahwa elit lekol telah membajak demokrasi, karena tidak adanya kendala bagi dirinya untuk mengekploitasi posisinya sebagai elit.
Santoso juga melihat faktor figure yang dominan dibanding institusi dalam demokrasi kita, menyebabkan kekuasaan elit lokal dapat berbuat sesukanya. Artinya, keberlangsungan kekuasaan lokal selama reformasi politik ini menghilangkan kontrol efektif dari kekuasaan pusat dan sekaligus control dari rakyat, sebagai prinsip “check and balance".
Melencengnya cita-cita demokrasi ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah korupsi kepala daerah selam reformasi ini. Dari jejak berita digital, kita mengetahui bahwa selama 13 tahun ini sudah 56 kepala daerah yang menjadi tersangak korupsi, yang melibatkan 11 gubernur, 30 orang bupati, 12 walikota, 2 wakil bupati dan seorang wakil walikota.
Korupsi ini selain mencerminkan buruknya rezim lokal, juga menunjukkan betapa rapuhnya kekuasaan lokal dalam menghadapi godaan pemilik modal, yang ingin memanfaatkan kekuasaan tersebut dalam mendapatkan hak-hak/perijinan pertambangan, hutan, perkebuanan, properti dlsb.
Buruknhya situasi desentralisasi politik paska reformasi, menuntut adanya perubahan besar system
kenegaraan kita. Koreksi atas kekuasaan local harus dilakukan. Keinginan politik untuk mengembalikan demokrasi lokal yang liberal dan bersifat langsung, umpamanya, telah diupayakan oleh berbagai kelompok politik pada tahun 2014
Dengan menawarkan pemilihan kepala daerah diubah dari bersifat langsung menjadi bersifat pemilihan di DPRD. Namun, karena situasi atau setting politik yang melatarbelakangi usulan itu mencurigakan kelompok lainnya, maka demokrasi local tetap seperti yang ada saat ini.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.