Tribunners / Citizen Journalism
Jika Hasrat Politik Tak Terakomodir
Meskipun seandainya Gerindra, PKS dan PAN bergabung sebagai kompetitornya. Kondisi ini masih lebih menguntungkan Jokowi
Oleh The Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Dalam percaturan politik tentu ada taktik dan strategi. Dalam kontestasi politik niscaya ada tarik menarik kepentingan, bahkan saling serang dan saling mengunci lawan politik.
Antar kekuatan politik kadang terlihat saling berhadapan secara diametral. Namun di tengah ketegagan politik tersebut ada bargaining position, siapa dapat apa.
Di tengah pertarungan politik yang terlihat antagonis dan sarkastis masih ada celah untuk melakukan kompromi politik. Hal itu wajar.dan lumrah ketika politik dimaknai sebatas kekuasaan. Begitulah praktik politik kekinian yang kita saksikan.
Begitu pun dalam konfigurasi menentukan pasangan calon presiden dan wakil presiden 2019, tak lepas dari percaturan, adu strategi untuk saling mengunci dengan tujuan mematikan langkah lawan. Tarik menarik antar pihak dalam kompetisi penentuan pasangan capres - cawapres saat ini sangat dinamis, penuh trik dan intrik -yang tak jarang menggunkan segala cara, termasuk menggunakan instrumen hukum guna menjegal kompetitor.
Percaruran capres cawapres yang paling seru justru ada di posisi cawapres karena pertarungan untuk posisi capres 2019 seolah-olah sudah final, yaitu Jokowi dan Prabowo, meskipun ada sejumlah nama yang disebut-sebut mau maju sebagai capres, tetapi pamornya masih jauh di bawah Jokowi dan Prabowo.
Namun kedua figur ini (Jokowi dan Prabowo) sama-sama tersandera oleh hasrat kekuasaan yang timbul dari internal partai yang akan mendukungnya. Pasalnya, ada kecenderungan semua partai memiliki "libido" untuk mengajukan nama cawapres sebagai pendamping Prabowo dan Jokowi.
Soal siapa yang menjadi cawapres. Misalnya, PKS telah mengajukan sejumlah kadernya untuk disandingkan dengan Prabowo. Di kubu Jokowi ada PKB yang mengusung Cak Imin secara terang-terangan mematok posisi cawapres. Nama Romahurmuzy (Rommi) Ketua Umum PPP juga pernah disebut-sebut sebagai cawapres dari PPP meskipun hanya terdengar sayup-sayup.
Demikian pula Airlangga Hartarto dan JK dari Golkar juga didorong-dorong sebagai cawapres mendampingi Jokowi. PDIP juga dikabarkan mengajukan sejumlah nama seperti Puan Maharani dan nama lain untuk mendampingi Jokowi. Jadi, ada kemungkinan semua partai sama-sama melakukan bargaining position dengan Jokowi dan Prabowo sebagai bakal calon presiden terkuat pada Pilpres 2019.
Sistem dan realitas politik saat ini memaksa partai harus berkoalisi dalam mengusung capres. Karena tidak ada single majority party yang dapat mengusung sendiri pasangan capres. Tidak ada satupun partai yang memenuhi kuota 20 persen Presidential Threshold Ini menyebabkab bakal capres tersandera oleh kepentingan partai koalisi.
Jika partai terlalu memaksakan hasratnya dan kurang jeli dalam menghitung peta keuatan serta tidak cerdik memainkan irama politik maka bisa tersandra oleh kompetitornya atau tersandra oleh permainannya sendiri.
Bisa jadi, partai tersebut hanya sekadar "penggembira" tidak memiliki posisi politik yang kuat.
Realitas politik seperti ini akhirnya melahirkan perilaku politik transaksional yang berujung pada kompromi politik. Jika tidak ada kompromi maka tidak mudah untuk menentukan pasangan kandidat presiden-wakil presiden karena masing-masing partai memiliki agenda sendiri-sendiri dalam mengajukan capres-cawapres.
Di kubu Prabowo, Gerindra memang sudah memberikan mandat kepada ketua umum mereka untuk maju pada capres 2019. Namun kursi Gerindra tidak cukup untuk memenuhi persyaratan presiden threshold, karena tidak mencapai 20 persen maka Gerindra harus berkoalisi. Dalam wacana publik, Gerindra disebut akan berkoalisi dengan PKS, tapi PKS memiliki agenda sendiri.
PKS mengajukan 9 nama sebagai bakal capres/ cawapres. Syangnya, di internal PKS juga terjadi silang pendapat yang mencerminkan adanya konflik di tubuh partai tersebut. Masalah ini jelas menambah keruwetan tersendiri dalam konfigurasi menentukan capres cawapres. Kerumitan itu bisa dilihat sampai saat ini belum ada kepastian pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden yang mengerucut ke suatu nama. Yang sudah mengerucut baru posisi bakal calon presiden yakni Jokowi dan Prabowo.
Namun nasib Prabowo sendiri masih diujung tanduk, belum pasti bisa maju pada Pilpres 2019 atau tidak jika dilihat dari peta kekuatan partai koalisi, kecuali terjadi deal politik antara Prabowo dengan PKS atau dengan partai lain yang apabila digabung cukup memenuhi kuota 20 persen.
Di sisi lain masih ada tiga partai yang hingga saat ini belum mengumumkan secara resmi calon presiden yang hendak diusung pada pilpres 2019 yaitu PKB, PAN dan Demokrat. Dari ketiga partai ini terlihat memiliki hasrat untuk memasang cawapres.
Untuk PAN masih terjadi tarik menarik di internal partai, ada kecenderungan Zulkifli Hasan merapat ke Jokowi. Namun kubu Amien Rais nampak berseberangan dengan usulan itu, dan lebih cenderung untuk berkoalisi dengan Gerindra dan PKS. Hal ini yang membuat posisi pencalonan cawapres ini masih alot.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.