Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Saatnya “Kawinkan” Regulasi Zakat dan Pajak

Bahkan, jika ditelisik secara detail terkait landasan perintah untuk menunaikan zakat, hampir selalu disandingkan dengan perintah shalat

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
Slamet - Direktur Penyaluran Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (NU CARE-LAZISNU), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 

“Kawinkan” Dua Regulasi; Mengapa Tidak?

Mungkinkah “mengawinkan” dua regulasi zakat dan pajak? Jawabannya tentu sangat mungkin. Contoh konkret atas pelaksanaan ini adalah Malaysia yang mengeluarkan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak.

Artinya, jika seseorang telah menunaikan zakatnya, maka kewajiban membayar pajak menjadi berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.

Berbeda dengan Indonesia, sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2011 Pasal 22 dan 23, posisi zakat masih menjadi pengurang penghasilan kena pajak.

Dengan kedudukan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, otomatis jika seseorang ingin menunaikan zakat terlebih dahulu sebelum membayar pajak, maka hitungan nominalnya justru akan menjadi lebih besar.

Memang, secara umum jumlah penghasilan kena pajaknya menjadi berkurang karena telah terpotong oleh zakat. Namun, prosentase pajaknya tidak berkurang sama sekali.

Dalam kalkulasi ekonomi, tentu saja regulasi yang semacam ini akan merugikan. Dalam hal ini, maka tidak bisa dipungkiri jika perolehan zakat di Indonesia masih jauh dari potensi yang ada.

Bahkan, dalam catatan BAZNAS, pada tahun 2016 dari jumlah potensi zakat sebesar Rp. 217 Triliyun, perolehannya hanya Rp. 5,12 Triliyun dan tahun 2017 menjadi Rp. 7 Triliyun.

Tentu saja angka tersebut adalah prosentase yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi zakat yang mencapai ratusan triliyun rupiah.

Oleh karena itu, sebelum Pemerintah berencana untuk menggodog Perpres Zakat 2,5 persen untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), akan lebih baik lagi jika pemerintah mendorong sinkronisasi regulasi antara zakat dan pajak.

Artinya, perlu adanya perubahan mendasar tentang UU Nomor 23 Tahun 2011, yakni pada klausul “zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak” menjadi “zakat sebagai pengurang pajak.”

Tentu saja, bagi umat Islam akan lebih terakomodir mengingat tidak adanya double payment antara zakat dan pajak.

Di samping itu, jika regulasi zakat dan pajak disatukan, maka semangat umat Islam untuk menunaikan zakat akan lebih besar dan tidak menutup kemungkinan akan sesuai dengan potensinya.

Hal ini karena ketika mereka menunaikan zakat sekaligus telah membayar pajak.

Lalu bagaimana dengan pendapatan negara yang ditopang pajak? Pemerintah perlu merumuskan secara lebih teknis terkait maksimum nominal yang bisa disampaikan melalui BAZNAS/Lembaga Amil Zakat dan melalui Pemerintah.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved