Tribunners / Citizen Journalism
Mencegah Politik Identitas 212
Sejak UUD 1945 diamandmen tanpa kajian akademik yang patut dan layak lalu menjadi UUD 2002, akar model politik identitas ditanam kokoh.
Oleh Ichsanuddin Noorsy
TRIBUNNEWS,COM, JAKARTA-Sejak UUD 1945 diamandmen tanpa kajian akademik yang patut dan layak lalu menjadi UUD 2002, akar model politik identitas sebenarnya sudah mulai ditanam kokoh. Politik identitas – yang suka tidak suka berbasis kebebasan berdampingan dengan keterikatan-- lebih menguat lagi saat ketidak adilan dirasakan sebagian besar masyarakat.
Identitas jelas merujuk deskripsi pribadi, lingkup kelas sosial, suku, agama, ras, gender, dan seksualitas. Identitas pun mencakup rasa keterwakilan, kesamaan dan, atau kehidupan
yang mendominasi atau didominasi.
Secara umum, identitas politik masuk pada ranah kekuatan sosialkeagamaan atau lainnya, nasionalisme, regionalisme, dan globalisme. Unsur terpenting dalam identitas disini adalah keterikatan nilai, cita-cita, semangat, dan kepentingan para subyek.
Dengan keterikatan ini,para subyek mengorganisasi diri untuk mencapai kepentingannya atau memperjuangkan aspirasinya.
Produk dari pengorganisasian ini adalah perbedaan identitas dengan pihak lain. Pada rujukan keterikatan
yang konsisten dengan identitasnya, politik identitas tampil menunjukkan keberadaannya.
Maka antaraagama dan politik hanya bisa dibedakan dalam tataran analisis, tidak dalam bergeraknya kekuatan sosial. Agama mempengaruhi penganutnya, politik mempengaruhi simpatisan dan pemilihnya.
Itulah yang saya maksud dengan UUD 2002 telah menanam akar politik identitas. Partai politik tampil
leluasa mengorganisasikan keterikatan dan keterkaitan sosiologis simpatisan, pemilih dan kadernya.
Kemudian mungkin memperjuangkan kepentingan parpolnya dengan atas nama rakyat. Jelas, air ketemu
air, minyak ketemu minyak sehingga pemimpin terpilih adalah cerminan rakyat pemilihnya, kata banyak
orang. Dalam berbagai kajian, pengatas-namaan ini sebagai realisasi sistem perwakilan sebenarnya semu.
Saya menyebutnya sebagai false representative karena sistem sosial dan sistem politik didominasi oleh
kekuatan pemilik modal. Sejak pemilu 2004, kekuatan pemilik modal ini saya sebut sebagai kekuatan
bandar. Dalam pemilu 2009 dan pemilu 2014, mengemuka istilah NPWP (nomer piro wani piro) atau
politik uang.
Sulit dipungkiri bahwa kehidupan kemasyarakatan menjadi serba transaksional material. Jika
Pemilu 1999 seorang tukang tambal ban bisa menjadi anggota dewan dan tampil sebagai ketua komisi
anggaran, maka pada Pemilu 2004, 2009, 2014 hanya mereka yang bermodal yang bisa tampil sebagai
calong anggota legislatif.
Juga pada PilBup, Pilkot, atau Pilpres. Hanya mereka yang bisa bertransaksi dengan pemodal yang berpeluang menjadi Calon. Situasi ini menggambarkan luluh lantaknya modalsosial.
Dia tampil telanjang sejak aparat penegak hukum, elit politik, kalangan akademisi, pebisnis,
sejumlah pemuka agama dan kebanyakan perempuan ikut berebut jabatan publik. Kekuasaan adalah
sumber kehormatan.
Kekuasaan menjadi mata air kekayaan. Dengan kekayaan, kekuasaan dibeli. Siklus kekuasaan dan kekayaan menjadi lumrah bersamaan dengan makin tergerusnya modal sosial.
Di tengah hiruk pikuk itu, muncul seorang Ahok yang divonis menista agama. Sebelum vonis ini terjadi,
politik identitas mengental. Muslim di Jakarta dituding sebagai tidak toleran mengikuti label Islam di Indonesia sebagai salah satu sarang teroris. Atau umat Islam di Indonesia sebagai ekstrimis dan radikalis.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.