Tribunners / Citizen Journalism
KH Hasyim Muzadi Meninggal Dunia
Kiai Hasyim Muzadi di Mata Seorang Romahurmuziy
Saya menulis ini, dalam iringan kendaraan menghormati kyai Hasyim dari Bandara Halim ke ponpes Al Hikam, Depok, tempat peristirahatannya yang abadi.
PENULIS: M. Romahurmuziy
TRIBUNNERS - Suatu hari 2007, selepas Pilkada Jatim--satu-satunya di sejarah pilkada langsung yang berjalan 3 putaran--saya dan beberapa rekan nahdliyyin duduk santai bersama Kiai Hasyim di kediaman beliau, Jl. Cengger Ayam, Malang.
Saya bertanya, "Kiai, katanya Jawa Timur itu basis NU. Mengapa kita kok kalah ngusung gubernur NU? Apa warga NU dan para santri sudah tidak taat kepada para kiainya?". Sbg catatan, saat itu PPP sebagai satu-satunya parpol parlemen mengusung Khofifah sebagai Cagub Jatim, bersama 16 parpol non parlemen.
Jawaban kyai Hasyim enteng, "Rom, dulu santri-santri NU itu kaya saya. Sekarang, santri-santri NU itu kaya kamu-kamu." Meski disampaikan sambil terkekeh, sy merasakan jawaban itu menandai keprihatinan kyai Hasyim atas dekadensi moral dan tradisi ketaatan yang khas dimiliki warga NU.
Indonesia umumnya dan NU khususnya kehilangan salah satu ulama yang lengkap pengalamannya, dalam ilmunya, santun tutur-bahasanya, teguh pendiriannya, luas pergaulannya, diterima seluruh umat lintas agama.
Kiai Hasyim adalah ulama yang langka, bukan hanya menekuni ilmu agama, namun juga mempraktekkannya dalam aktivitas organisasi, berbangsa, dan bernegara.
Beliau seorang kyai yang 'alim, organisator ulung, orator hebat, politisi yg konsiaten sekaligus negarawan sejati.
Itulah kesan yang saya rasakan sebagai orang yg merasa sangat beruntung berkali-kali menimba ilmu langsung dari almarhum.
Tidak pernah lazimnya ulama, kyai Hasyim marah-marah kepada siapapun.
Beliau teguh dalam memegang prinsip, namun halus dalam penyampaian. Satu hal yang saya kenang, setiap beliau selesai berpidato, tak pernah absen bertanya kepada orang-orang sekeliling beliau, termasuk saya, "bagaimana tadi pidato saya, lumayan, lebih dari lumayan, atau kurang dari lumayan?".
Pertanyaan tersebut, sekaligus cermin kerendahhatian beliau kepada siapapun.
Bahwa ulama, kyai, juga manusia yg tak pernah luput dari salah dan alpa.
Pilihan beliau untuk dimakamkan di ponpes nya di Depok, bukannya di TMP Kalibata, Jakarta, atau Malang kota tempat awal beliau membina masyarakat, tak lepas dari perhatiannya yang luar biasa kpd para santri Al Hikam II, yang beliau tengah bina.
Bahwa ulama sejati, adalah yg lahir, besar dan kembali ke dunianya, dunia santri.
Sebagai warga nahdliyyin dan "santri" kyai Hasyim, saya berterimakasih kepada Pemerintah yang telah menghormatinya secara paripurna dalam upacara militer.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.