Tribunners / Citizen Journalism
Legislator Baru
Voting Pemilihan Ketua MPR : Elite Politik Tidak Memaknai Demokrasi Pancasila Secara Benar
Dalam sejarah Indonesia jelas Musyawarah/Mufakat digunakan dalam mengangkat pemimpin juga menetapkan keputusan penting menyangkut hajat orang banyak
Oleh Tiurmaida Tampubolon
Pada saat kandidat Ketua MPR subuh tadi dipersilahkan menyampaikan pemikirannya tentang tugas MPR dengan lantang sejumlah anggota MPR termasuk kandidat ketua dari KMP , Zulkifli Hasan menyuarakan pentingnya sosialisasi dan implementasi 4 Pilar Kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika dan menjaga keutuhan NKRI.
Saya berkata dalam hati.. wow betapa sebagian besar dari mereka memahami al.tugas yang diemban sebagai anggota MPR tersebut tapi koq tidak dimaknai ya..Bukankah sila ke 4 dari Pancasila adalah KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN / PERWAKILAN.. lalu mengapa dalam memilih Ketua MPR harus dilakukan melalui voting? Seharusnya mereka mengimplementasikan Demokrasi Pancasila dengan cara pemilihan dilakukan secara musyawarah mufakat berdasarkan hikmat kebijaksanaan..
Apa yang terjadi Rabu subuh itu menunjukkan perilaku elite politik yang tidak sesuai kata dan perbuatan..
Apakah mereka tidak memaknai bahwa MPR merupakan simbol dari kerakyatan yang tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak yang memiliki kepentingan bagi koalisi atau partai politiknya sendiri.
Ada baiknya kita menilik ke masa saat para pendiri bangsa kita mendirikan negara yang kita cintai ini.
Para pendiri bangsa membangun Indonesia dengan "Musyawarah/Mufakat" .Para pendiri bangsa pada 28 Oktober 1928 melahirkan Sumpah Pemuda melalui musyawarah/mufakat . Sekitar 700 Jong-Jong dari seluruh Nusantara (sebelum Bangsa Indonesia lahir) Jong Sumateranen bond, Jong batax bond, Jong Java, Jong celebes, Jong Minahasa, Jong Ambon dan organisasi kepemudaan lainnya.
Perjuangan Bangsa Indonesia dilanjutkan. Berdasarkan risalah sidang "Dokuritsu Junbi Cosakai" pada 1 Juni 1945 , keputusan penetapan Pancasila sebagai Dasar Indonesia Merdeka juga dilakukan melalui Musyawarah/Mufakat.
Dua bulan kemudian tepatnya 17 Agustus 1945 , juga melalui Musyawarah/Mufakat , Soekarno - Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Kemudian pada keesokan harinya UUD 1945 disahkan dan Soekarno Hatta diangkat sebagai Presiden/wakil Presiden juga melalui Musyawarah/Mufakat.
Jadi dalam sejarah Indonesia jelas bahwa Musyawarah/Mufakat di gunakan dalam mengangkat pemimpin juga menetapkan keputusan penting menyangkut hajat hidup orang banyak.Jadi Demokrasi berdasarkan musyawarah mufakat yang dalam perjalanan selanjutnya para pendiri bangsa menyebutnya Demokrasi Pancasila.
Tentu saja musyawarah demi tercapainya suatu kemufakatan tersebut harus dilandasi dengan jiwa hikmat kebijaksanaan ,bukan karena arogansi ,egoisme sektoral /partai/ koalisi, apalagi balas dendam politik. Jiwa hikmat kebijaksanaan itu mutlak diperlukan agar hasil mufakat yang didapat merupakan sesuatu yang terbaik. Selain itu diperlukan juga adanya keterwakilan yang baik dari anggota peserta musyawarah yang dilaksanakan demi mulusnya penerimaan hasil musyawarah pada semua pihak.
Jadi spirit hikmat kebijaksanaan dalam penyelenggaraan musyawarah mufakat itulah yang diwariskan para pendiri bangsa untuk kita teladani ,kita maknai dan kita laksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hikmat kebijaksanaan dalam bermusyawarah bermufakat itu jualah yang dipraktekkan dan terus menerus disuarakan Ketua MPR Bapak Taufiq Kiemas agar kita sebagai anak bangsa meneladani jiwa mulia para pendiri bangsa.
Jadi sangat tidak elok, bila untuk memilih Ketua MPR para elit politik di Senayan melakukan dengan cara voting .
Seharusnya kita sadar bahwa voting adalah cara terburuk dalam memutuskan sesuatu hal karena voting adalah cara terakhir jika tidak ada cara lain yang memungkinkan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.