Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Bocah Disodomi

Motif Bunuh Diri Pelaku Sodomi dan Warisan Trauma Seumur Hidup Bagi Korban

Apa motif bunuh diri pelaku sodomi? Murni karena tekanan batin lantaran mau atau sebab lain? Bagaimana trauma korban?

Anak merupakan cikal bakal generasi penerus yang di dalam genggamannya negara ini dapat maju dan berkembang. Tumpuan dan harapan merupakan warisan yang akan diwariskan kepada mereka kelak. Tanggung jawab akan cita-cita besar bangsa Indonesia akan diberikan sepenuhnya kepada mereka.

Namun melihat realitas yang terjadi pada hari ini terkait kasus kejahatan seksual yang terjadi di instansi pendidikan bertaraf internasional itu seakan-akan meruntuhkan impian dan harapan yang telah dikemas melalui UU Perlindungan anak tersebut.

Sangat disayangkan tunas muda harapan bangsa harus dirusak mentalnya, dicabik-cabik spiritnya dan diberikan memori berupa traumatik berkepanjangan dalam hidupnya. Hal ini harus menjadi sorotan bersama. Betapa nasib bangsa berada di dalam genggaman tunas bangsa, maka sudah sepantasnya kasus yang merusak mental tunas bangsa tersebut harus ditindak secara tegas.

Mengkaji problematika yang terjadi terhadap kasus kejahatan terhadap anak berupa tindak kekerasan seksual tersebut dapat dipandang dari kacamata hukum dan psikologi.  

Dalam pandangan hukum yang diatur dalam UU Perlindungan hukum No 23 Tahun 2002, kasus yang dilakukan oleh beberapa orang oknum di Jakarta International School (salah satu sekolah bertaraf internasional yang menjadi pemberitaan) telah melanggar pasal 13 yang berbunyi bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.

Sedangkan menurut pasal 82 menyatakan dengan tegas bahwa Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Dalam kasus yang tengah berkembang dan berhadapan dengan muka hukum itu, jelas para pelaku tindak kejahatan seksual harus ditindak secara tegas sesuai dengan pasal UU Perlindungan anak yang dilanggar serta ditetapkan sanksi sesuai dengan sanksi yang berlaku juga.

Namun demikian, adanya sanksi yang berlaku guna memberikan efek jera kepada para pelaku tidak dapat menjamin stabilitas mental pada anak yang menjadi korban kejahatan seksual tersebut. Secara psikologis, mentalitas pada anak selaku korban akan terganggu stabilitasnya.

Hal ini akan menjadi dampak dan pengaruh yang akan dibawa seumur hidup anak. Anak akan merekam tindakan yang dilakukan terhadapnya dan disimpannya baik-baik ke dalam alam bawah sadarnya. Terlebih lagi pada usia dini anak mengalami proses rekam memori yang sangat baik. Pada saat itu otak anak akan sangat baik memproses pengetahuan maupun pengalaman yang mereka alami.

Anak selaku korban yang mengalami kejahatan seksual akan merasakan ketakutan saat pelaku melakukan tindakannya. Ketakutan inilah yang akan dibawa anak sampai kapanpun, dan jika di saat dewasa alam bawah sadarnya naik ke permukaan bisa jadi anak yang mengalami kondisi traumatis tersebut akan melakukan hal yang pernah dialaminya kepada orang lain.

Analisa di atas merupakan analisa berdasarkan teori seorang psikolog berkebangsaan Jerman, Sigmund Freud. Dalam teorinya Freud mengemukakan tentang alam bawah sadar dan bagaimana kedahsyatannya membentuk kepribadian seorang individu.

Alam bawah sadar yang semakin lama semakin dipendam dan berbekas di memori seseorang, lambat laun akan naik ke permukaan juga. Karena pada prinsipnya alam bawah sadar ini adalah sesuatu yang suatu saat dapat dimunculkan tanpa sadar oleh seseorang.

Pangkas Tuntas Kejahatan Seksual Terhadap Anak Hingga Ke Akarnya.
Berdasarkan analisa psikologis di atas, dapat dilihat sebuah gambaran buram tentang masa depan anak selaku korban yang mengalami kondisi traumatis berkepanjangan.

Seperti yang dapat dilihat juga terhadap tinjauan hukum menurut UU Perlindungan Anak, sanksi yang diterima oleh pelaku tampaknya tidak sebanding dengan penderitaan mental yang dialami oleh anak seumur hidup mereka.  

Dalam kasus ini, baik pelaku maupun korban memerlukan penanganan secara psikologis. Karena jika tidak demikian, kasus kejahatan seksual pada anak akan menjadi mata rantai yang tidak dapat diputus. Bisa jadi, apa yang dilakukan oleh pelaku kepada korban adalah bentuk kelainan yang pernah didapatkannya di masa silam.
Dan tidak menutup kemungkinan pula, posisi korban saat ini dapat menjadi pelaku dikemudian hari. Hal ini diakibatkan oleh alam bawah sadar yang naik ke permukaan.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tags
sodomi
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved