Tribunners / Citizen Journalism
Mempersoalkan Beras Impor Ilegal, Benarkah Gita Wirjawan Terlibat?
Pemberitaan bermula dari sentilan seorang pedagang beras bernama, Billy Haryanto
Oleh: Masdarsada. Penulis adalah peneliti senior di Forum Dialog (Fordial), Jakarta dan Kajian Nusantara Bersatu. Alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen (KSI), Universitas Indonesia.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjelang pelaksanaan Pemilu 2014 sebagai momentum terjadinya suksesi kepemimpinan nasional, bangsa ini lagi-lagi dipusingkan dengan kasus beras impor yang sebenarnya dianggap ilegal, namun bisa dimasukan ke dalam negeri dan bukan melalui penyelundupan. Pemberitaan bermula dari sentilan seorang pedagang beras bernama, Billy Haryanto pada 22 Januari 2014 kepada Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Khrisnamurti, saat melakukan sidak pasokan kebutuhan pokok saat banjir.
Menurutnya ada beras impor asal Vietnam yang beredar di Pasar Induk Cipinang. Sentilan tersebut membuat kementerian/lembaga yang terlibat dalam impor tersebut, saling tuduh dan lempar tanggung jawab. Guna menyelesaikan permasalahan tersebut, Kementerian Perdagangan mengundang Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian duduk bersama.
Hasil rapat lintas kementerian ini, diduga ada penyimpangan yang dilakukan pihak importir. Perkiraan modus awal yang didalami Bea Cukai, importir memanfaatkan kesamaan kode HS antara beras khusus dan beras medium. Dalam data otoritas pabean, kode kedua jenis beras berbeda harga itu adalah 1006.30.99.00.
Menurut Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan Bea Cukai, Susiwijono masuknya beras impor yang biasa diimpor Bulog, diduga menggunakan Surat Persetujuan Impor yang diperuntukkan bagi importasi beras khusus, seperti Japonica dan Basmati.
Merasa kecolongan, Bea Cukai berjanji akan menyelidiki biang kerok pengapalan beras yang ternyata tak sesuai dokumen itu. Sebab jika hanya ditinjau dari surat izin, kedatangan 16.900 ton beras dari Vietnam oleh 58 importir melalui Pelabuhan Belawan dan Tanjung Priok itu sama sekali tidak melanggar aturan. Bahkan, karena beras masuk kategori komoditas ancaman rendah (low risk), pemeriksaan yang dilakukan aparat Bea Cukai lebih longgar.
Sebagai langkah antisipasi agar importasi ilegal ini tak berlanjut, Bea Cukai bakal meningkatkan pengawasan terhadap komoditas beras dari luar negeri, sehingga hanya Badan Urusan Logistik (Bulog) yang akan mendapat kemudahan pabean dalam mengimpor beras jenis medium.
Sedangkan Kementerian Pertanian bakal menerbitkan rekomendasi impor beras dengan kelengkapan persyaratan lebih sulit. Mencakup persyaratan kemasan, jaminan suplai, sampai merek barang. Sementara itu Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag berjanji akan menyempurnakan usulan data kode HS supaya beras khusus dan beras medium asal luar negeri mudah dibedakan. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2008 juga disempurnakan, dengan mencantumkan kriteria beras khusus bagi importir swasta secara lebih komprehensif.
Adakah Kaitannya dengan Gita Wirjawan?
Isu beras impor tersebut sempat berkembang makin panas, karena dikaitkan dengan mundurnya Gita Wirjawan dari jabatan Menteri Perdagangan. Padahal Gita sudah mengajukan surat pengunduran diri sejak Oktober 2013, karena ingin fokus mengikuti tahapan konvensi Capres Partai Demokrat yang diikutinya. Dia mengambil sikap profesional tidak menggunakan jabatan negara untuk kepentingan politik. Keputusan Gita Wirjawan untuk mundur dari jabatannya sebagai menteri perdagangan terus memicu kontroversi. Alih-alih diapresiasi sebagai keputusan yang arif, Gita malah santer dikait-kaitkan dengan dugaan beredarnya beras impor ilegal tersebut.
Disadari atau tidak, tuduhan-tuduhan tidak berdasar, kampanye hitam (black campaign), dan bahkan fitnah, dapat menjadi algojo untuk menghabisi seseorang terutama yang terkait dengan pemilihan presiden. Tidak tertutup kemungkinan akan banyak capres atau bakal capres yang akan mengalami nasib serupa dengan Gita. Jika itu terjadi, obsesi bangsa ini untuk memiliki pemimpin yang mumpuni, pemimpin yang dapat membawa rakyat Indonesia ke masa gilang-gemilang, bakal kandas. Mereka akan dijegal oleh kampanye hitam dan tuduhan-tuduhan kosong, bukan oleh kompetisi berdemokrasi yang sehat dan mencerahkan. Rakyat tidak mendapat pendidikan politik yang cerdas karena mereka terus dicekoki oleh sikap apriori, curiga, syak wasangka.
Padahal beberapa waktu lalu, Presiden SBY melalui jejaring sosial telah menyampaikan himbauan agar partai politik peserta pemilu tidak melakukan kampanye gelap (black campaign) maupun kompetisi yang tidak sehat menjelang Pemilu 2014. Para pemimpin partai politik dan para calon presiden hendaknya kampanye Pemilu itu yang mencerdaskan, yang mendidik. Lebih lanjut, SBY juga mengecam aksi black campaign yang disebutnya sebagai bentuk fitnah, praktik black campaign sangat berbahaya dan harus dihindari. Sudah saatnya bangsa Indonesia membangun demokrasi yang sehat, bukan demokrasi dengan menghalalkan segala cara.
Terkait isu keterllibatannya, Gita Wirjawan merasa persoalan tersebut merupakan hal yang lucu dan sarat dengan kepentingan politis. Dirinya menyatakan siap diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait impor beras Vietnam ini, sehingga diharapkan akan membuka aktor utamanya biar nanti ketahuan siapa yang mempolitisir ini semua. Karena itu kita mendukung upaya BPK mendalami kasus dugaan beras impor ilegal asal Vietnam ini.
Bila menemukan bukti-bukti pelanggaran, BPK harus menyerahkannya kepada aparat penegak hukum agar ditindaklanjuti sampai tuntas. Setelah melalui proses hukum di pengadilan, siapa pun yang terbukti melanggar tanpa kecuali, mesti ditindak sesuai aturan dan hukum yang berlaku, termasuk jika yang bersalah adalah Gita Wirjawan.
Namun demikian, politisasi seperti ini bukan saja merugikan Gita Wirjawan secara pribadi, akan tetapi juga telah menguras tenaga para birokrat secara sia-sia, padahal seharusnya energi itu dipakai untuk melayani kepentingan publik.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.