Tribunners / Citizen Journalism
Oknum DPR Minta Jatah
Peras Memeras? Siapa yang Salah
nyaris berlangsung pada kasus Bank Century, dan rapat paripurna pembentukan Pansus Perpajakan
Pada kasus Banggar yang melibatkan Waode Nurhayati, Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Wisma Atlet, Zulkarnaen Djabar atau kasus Siti Hartarti Murdaya dan kini kasus Hambalang, semua nampak persoalannya bukan peras memeras. Para pihak setuju untuk saling memberi.
Anggota Dewan pada lingkup kewenangannya memberi persetujuan alokasi anggaran untuk suatu kegiatan proyek. Sementara pihak swasta setuju memberi materi atau kenikmatan lain. Dalam soal ini, tentu saja bukan hanya Anggota DPR dan pihak swasta atau BUMN, juga pihak eksekutif sebagai pemegang kuasa anggaran.
Jika menggunakan istilah pemerasan, maka permintaan Anggota DPR dengan tekanan atau paksaan. Sebaliknya, juga pemerasan terhadap Anggota DPR jika pihak Eksekutif memaksakan kehendak dengan ancaman me-recall melalui partai anggota yang bersangkutan. Atau memaksa anggota DPR untuk tidak bersikap kritis, bahkan melarang anggota DPR untuk bertanya.
Peristiwa ini nyaris berlangsung pada kasus Bank Century, dan rapat paripurna pembentukan Pansus Perpajakan. Dengan demikian masalahnya bukan soal peras memeras, tapi soal terpenuhi atau tidak terpenuhinya suatu kepentingan.
Anggota DPR akan menggunakan kekuasaannya untuk mencapai kepentingannya, yakni mengembalikan investasi uangnya saat musim Pemilu. Tentu saja ini terjadi pada semua Anggota DPR. Sementara mitra kerja DPR atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan persetujuan DPR akan melakukan yang strategis sepanjang kepentingannya tercapai.
Sistem ini bermuatan demokrasi liberal berbasis transaksi material, yang saya sebut sebagai demokrasi korporasi. Hasilnya adalah, senjangnya keputusan DPR dan Pemerintah dengan upaya menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apalagi bila dipahami bagaimana sikap para direksi BUMN dan dirjen atau Menteri yang memang memiliki hasrat kekuasaan politik demikian tinggi. Maka titik temunya adalah kesamaan kepentingan bahwa jabatan adalah sumber kekayaan dan kehormatan.
Kalau ini dipahami dengan baik, maka tidak akan ada tudingan peras memeras atau suap menyuap. Sebaliknya yang muncul adalah memenuhi panggilan jiwa anak bangsa dan amanat konstitusi. Bisakah ini terjadi ? Jawaban, tidak akan selama mayoritas politisi, birokrat, teknokrat, akademisi dan media arus utama menikmati alam pikir neoliberal yang telah menggeser percaya-kekuasaan-percaya (trust-power-truts) menjadi uang-kekuasaan-uang (money-power-money).
Lalu siapa yang salah ? Mereka yang menjalankan kekuasaan ini dengan sikap ahistoris, tidak sesuai dengan semangat perjuangan para pahlawan, dan menghianati konstitusi.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.