Tribunners / Citizen Journalism
Oknum DPR Minta Jatah
Peras Memeras? Siapa yang Salah
nyaris berlangsung pada kasus Bank Century, dan rapat paripurna pembentukan Pansus Perpajakan
Oleh Dr Ichsanuddin Noorsy
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Masih ingat kasus korupsi Jamsostek sebesar Rp7,1 miliar sekitar Oktober hingga November 1997 dalam rangka memuluskan UU 25/1997 tentang Ketenagakerjaan ? Waktu itu beredar isu, selain 60 anggota DPR menerima Rp2 5-30 juta perorangnya, setiap pimpinan fraksi dan pimpinan DPR pun menerima uang lelah pembahasan maraton UU itu.
Dokumen beredar dan pemberitaannya meluas tidak tertahankan. Soeharto sebagai Presiden akhirnya mengatakan, “kasus saya ambil alih.” Maka isu korupsi itu lenyap. Tak lama kemudian beriringan dengan kasus Bank Bali, lagi-lagi isu suap DPR muncul. Kasus ini pun lenyap dari pemberitaan setelah Fraksi Golkar rapat tertutup menyidangkan isu suap tersebut.
Di era 1999-2004 muncul lagi berita berhamburannya cek perjalanan yang antara lain diterima seorang anggota DPR dari FPDI-P. Dan pada periode 2004-2009 puluhan anggota DPR duduk menjadi terdakwa dan kemudian menjadi terpidana korupsi karena kasus cek pelawat, kasus suap, dan kasus penggelembungan anggaran.
Pada 2009-2012 ini Dahlan Iskan kembali mengungkapkan bahwa sejumlah anggota DPR telah memeras BUMN. Sayangnya, Dahlan menjadikan isu ini sebagai senjata pemukul balik atas hasil temuan audit dengan tujuan tertentu oleh BPK pada PLN untuk rentang 2009-2010.
Dari beberapa kasus di atas, saya pernah menyampaikan modus operandi korupsi di DPR dalam sebuah diskusi dengan kalangan wartawan di Press Room DPR pada 2008. Dalam diskusi itu saya menyebutkan terdapat 15 modus operandi. Saya tak ingin mengulangnya.
Yang terpenting adalah, sepanjang kebijakan mitra kerja DPR itu benar, baik dan tepat waktu serta tepat sasaran, anggota DPR akan mati kartu untuk menekan atau meminta balas jasa kekuasaan yang dimilikinya. Secara umum, di era Soeharto berkuasa, modus operandi yang dilakukan oleh Anggota Dewan selalu berkaitan dengan fungsi Dewan.
Selama tujuan perundang-undangan memang ditujukan untuk kepentingan publik, dan tidak menguntungkan pihak-pihak tertentu, maka anggota DPR tidak bisa melakukan tawar menawar pasal, ayat, atau kalimat. Begitu seseorang anggota DPR ngotot menyampaikan satu rumusan kalimat atau penggunaan satu kata, anggota DPR yang lain akan menilai yang bersangkutan. Penilaian anggota yang lain ini merupakan kontrol sosial diantara sesama anggota.
Kalau urat malunya masih berfungsi dengan baik, biasanya memaksakan rumusan kalimat itu tidak terjadi. Pernah ada satu peristiwa seorang anggota DPR memaksakan satu kalimat dalam pembahasan UU No.7/1992 tentang Perbankan. Dampaknya, pemaksaan itu dicurigai dan menjadi bahan omongan yang tidak menyenangkan diantara sesama anggota.
Sebaliknya, jika anggota Dewan ngotot berargumentasi dengan mitra kerja atau Menteri, dan sikap ngototnya logis-rasional serta bisa dipertanggungjawabkan, maka Menteri atau pihak-pihak tertentu akan melobi Cendana untuk me-recall anggota yang bersangkutan. Kasus ini terjadi pada anggota DPR Bambang Warih Kusuma.
Di era reformasi, kekuatan partai untuk me-recall anggota nyaris lumpuh walau peraturannya tetap berlaku. Tawar menawar kepentingan tetap terjadi. Misalnya pada saat Pemerintah meminta persetujuan DPR untuk merekap Bank Lippo. Pemerintah menerbitkan PP 3/1999 yang kemudian dibahas DPR secara mendalam karena seorang anggota Dewan menyatakan rekap itu cacat hukum disebabkan membebani APBN tanpa persetujuan Dewan.
Karena pemilik bank luwes dan lihai melobi, PP itu tidak dibatalkan tapi diubah menjadi PP 4/1999. Akibatnya, anggota DPR itu menjadi sasaran tembak petinggi partai dan menteri berpengaruh. Di sini nampak, bisa saja seorang anggota DPR berargumentasi tanpa kepentingan pribadi atau partai, bahkan berseberangan dengan kebijakan partainya dan fraksi. Sementara bisa diduga pemilik bank mengeluarkan biaya untuk itu.
Demikian juga pada kebijakan rekapitalisasi perbankan lainnya yang diinjeksi oleh surat utang pemerintah namun melampui kebutuhan, yakni kecukupan modal minimal yang disyaratkan. Ternyata diketahui bahwa pelampuan ini dimaksudkan untuk memperoleh bunga surat utang yang dibayar APBN. Kelebihan atas bunga itulah yang menjadi biaya politik. Ade Sumantri Slamet Wakil Ketua BPPN tidak bisa menjawab pertanyaan saya saat talkshow siaran langsung pada sebuah stasiun teve swasta.
Karena posisi DPR makin kuat, terutama dalam soal politik anggaran (penentuan alokasi, distribusi dan regulasi serta stabilisasi anggaran), maka kebutuhan eksekutif akan persetujuan dan kemudahan dari Dewan makin tinggi. Begitu juga dengan pihak swasta yang terkena kasus dan melibatkan peranan DPR.
Sementara jika melihat kasus Newmount, Freeport, atau persetujuan penawaran saham perdana pada PT Krakatau Steel dan PT Garuda, lobi-lobi kalangan swasta dengan Anggota Dewan pun tidak bisa dihindari. Begitu juga untuk uji kepatutan dan kelayakan pada jabatan-jabatan yang harus dipilih atau diputuskan DPR.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.