Fenomena Seleb Medsos: Cara Mudah Gapai Sukses, Dari Pekerja Kantoran Jadi Penyanyi Ternama
Mimpi untuk menjadi seleb, pesohor dan terkenal sejagad pun terbuka lebar dan instan karena kemudahan akses medsos.
Yan juga mengaku saat ini sedang menyiapkan empat single lagu lagi bergenre pop untuk Wieke El Rumi. “Di bulan ini sudah akan bisa naik empat single berikutnya, sambil tetap nyiapin materi untuk Wieke di genre pop nya,” kata Yan. Promo off air juga dilakukan Yan untuk Wieke El Rumi. Sembari terus mendorong konten lagu Wieke di media sosial untuk kepentingan promo. “Untuk sementara off airnya kita proyeksikan di kafe kita sendiri di bilangan Graha Raya kita adakan jamming dengan artisnya untuk ngenalin lagu ini. Dan tetap kita share ke beberapa media sosial untuk terus ngenalin produknya,” ujar Yan.
Dua Sisi Media Sosial
Dosen Cultural Studies Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Shuri Mariasih Gietty Tambunan, PhD menyebut banyaknya orang yang semakin mudah menjadi terkenal saat ini karena akses masyarakat ke media sosial dan user generated content seperti YouTube yang lebih praktis dan lebih mudah diakses dimana saja dibandingkan medium lama seperti televisi.
Selain itu, kata Gietty, media sosial dan youtube misalnya menjadi platform kreativitas yang lebih terbuka dibandingkan "old media." Sebagai contoh, vlog keseharian di YouTube dianggap lebih relatable (menggambarkan keseharian) dibandingkan reality show di televisi yang lebih menjual sensasi.
"Walaupun ada juga konten youtube yang menjual sensasi, tapi ada konten youtube yang sangat sederhana misalnya vlog grocery haul (ibu-ibu rumah tangga menunjukkan hasil belanja bulanannya) dan memperoleh engagement yang tinggi. Ada rasa kesamaan antara penonton dan apa yang mereka tonton yang mungkin lebih relatable dibandingkan menonton konten di media seperti televisi," ujar Gietty.
"Ini bagian dari perubahan dan dinamika budaya yang tentu sangat dikondisikan dari perkembangan media digital," tambahnya.
Media sosial lanjut Gietty sangat berperan mengubah tatanan sosial dan budaya. "Tentu sangat berperan karena media sosial sama halnya dengan media-media lainnya adalah wadah artikulasi budaya. Budaya tidak stagnan, sangat kompleks dan terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat," ujar Gietty.
Gietty menjelaskan pengaruh media sosial terhadap perilaku sosial dan perubahan budaya sebenarnya tidak melulu selalu miring atau negatif. Di sisi lain influencer itu juga bisa empowering, menggunakan platformnya membahas isu-isu yang memberdayakan.
Misalnya kata Gietty selama pandemi covid-19, influencer justru bisa membongkar hoax atau fake news karena mereka mungkin lebih 'didengar' dibandingkan suara otoritas seperti pemerintah. "Konsumtif pasti ada tapi harus dilihat sisi lain juga bahwa media sosial membuka kesempatan untuk menyampaikan narasi-narasi alternatif yang tidak bisa disuarakan di media mainstream. Sama halnya dengan semua jenis media. Bisa jadi wadah untuk pemberdayaan walaupun di sisi lain ada komodifikasi, komersialisasi," ujar Gietty.
Lalu bagaimana audiens dan publik harus menerima dan menyaring apa yang ada di media sosial saat ini agar tidak terpapar pengaruh negatifnya? Gietty mengatakan audiens atau konsumen itu tidak 'bodoh' dan punya agensi dalam merespon secara kritis. Dalam media studies memang ada pemikiran yang menganggap konsumen itu pasif dan menerima mentah-mentah apa yang mereka konsumsi.
Tapi kata dia ada juga perspektif yang menganggap konsumen itu aktif dalam memaknai apa yang mereka konsumsi. Pada dasarnya filter itu datang dari apa yang sudah dialami si konsumen sepanjang hidupnya (misal dari keluarga, pendidikan, dll).
"Apakah konsumen selalu dibodohi jawabannya tidak. Harus dilihat secara case by case. Literasi media dan kemampuan berpikir kritis adalah dua hal yang sebaiknya dimiliki untuk bisa menjadi konsumen yang secara aktif memaknai apa yang ditawarkan media," ujar Gietty. (Willy Widianto)