Fenomena Seleb Medsos: Cara Mudah Gapai Sukses, Dari Pekerja Kantoran Jadi Penyanyi Ternama
Mimpi untuk menjadi seleb, pesohor dan terkenal sejagad pun terbuka lebar dan instan karena kemudahan akses medsos.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjadi tenar dan terkenal memang menjadi impian banyak orang. Berbagai cara ditempuh demi bisa menjadi populer.
Namun, beda dulu, beda sekarang. Dahulu kala apabila seseorang ingin menjadi terkenal harus melewati jalan terjal.
Menjadi seleb misalnya, atau berkarier di dunia musik seseorang harus merekam suara merdunya di pita kaset, lalu mengirimkan ratusan kopi demo lagu ke label rekaman atau radio. Hal tersebut tentu saja membutuhkan energi dan biaya yang tidak sedikit.
Belum lagi karyanya tak menentu dilirik dan mendapatkan kontrak dari label rekaman.
Baca juga: Kental dengan Nuansa Lokal, Shopee Big Ramadan Sale TV Show Tampilkan Selebriti Favorit Indonesia
Baca juga: Raffi Ahmad dan Hamka Hamzah Tidak Larang Pemain Rans Cilegon FC Jadi Youtuber dan Selebgram
Sekarang semuanya berubah di dunia yang serba digital ini. Media sosial menjamur, akses masyarakat ke platform seperti Youtube, Spotify, Instagram dan lain sebagainya juga mudah dan praktis. Mimpi untuk menjadi seleb, pesohor dan terkenal sejagad pun terbuka lebar dan instan karena kemudahan akses tersebut. Wike salah satunya, seorang karyawan swasta ini mencoba peruntungan di dunia tarik suara.
Tadinya ia bukan siapa-siapa, hanya seorang ibu rumah tangga sekaligus wanita karier. Akan tetapi, ada momen tidak sengaja ketika ia mengisi sebuah acara di sebuah kafe, seorang pencari bakat dari sebuah label rekaman meliriknya.

Label rekaman yang biasa mengorbitkan penyanyi di platform media sosial tersebut kepincut dengan suara mendayu-dayu Wike. Karyawan sebuah bank swasta ternama ini pun diajak untuk menggarap sebuah single lagu bertemakan religi. Karena kebetulan menjelang bulan Ramadan tiba.
"Jadi awalnya lihat aku menyanyi di kafe terus langsung dibikinin lagu sama dia(label)," ujar Wike saat berbincang dengan Tribun, Selasa(4/5/2021).
Benar-benar tidak disangka, single religi berjudul 'Barisan Ayat-ayatMu' pun lahir. Single tersebut tayang di Youtube, Spotify dan Apple Music. Pantauan Tribun di Youtube Wike yang mengubah namanya menjadi 'Wieke El Rumi' lagunya sudah ditonton 568 orang dan di like 145 orang. Subscribersnya pun lumayan mencapai 123.
Kata Wike, single religi tersebut digarap dalam waktu hanya satu bulan. "Sebulan. Terus rekaman tiga minggu, kilat mengejar Ramadan," ujarnya. Awalnya Wike sempat kebingungan menjalani rekaman menjadi penyanyi. Karena ia harus bekerja dan sekaligus mengurus anak.
Beruntung, sang suami mendukung rintisan karier dirinya itu. "Capek tapi happy. Anak-anak titip ayah pas hari rekaman. Suami dukung banget, itu yang bisa jalan kreasinya," ujar Wike.
Usai single religi, Wike berencana mengeluarkan lagu berikutnya dengan warna musik pop dan akan didistribusikan di platform Youtube, Spotify dan Apple Music. "Lagu selanjutnya sih sudah nunggu. Enggak(religi), ini religi karena momennya pas masuk Ramadan," kata dia.
Ketika ditanya mengenai biaya yang dikeluarkan untuk masuk dapur rekaman apakah memberatkan atau tidak, Wike mengaku hal tersebut bisa didiskusikan dan cenderung ramah di kantong. Begitu pula urusan soal monetize dan royalti di Youtube dan Spotify, kata Wike tidak hanya label rekaman saja yang menerima, tetapi dirinya juga meraup cuan.
"Ya dapat dong(fee dan royalti) masa kerja bakti," kata dia.
Semakin Mudah
Komposer dari label '4Lucky Entertainment', Yan Loec membenarkan bahwa sekarang keinginan seseorang menjadi terkenal jalannya semakin mudah.
"Setuju(semakin mudah jadi terkenal), hanya perlu trigger dan treatment yang cocok, karena dari beberapa talenta atau rumah produksi, masih saja berkutat pada covering, padahal sudah jelas, semakin banyak yang kita cover, revenue yang kita dapat makin kecil, karena materi-materi tersebut ada publishernya.
Namun, jika karya yang kita hadirkan adalah original song, kemudian ditangani oleh publisher yang tepat, maka hasil dan keamanan dari sebuah karya bisa lebih terlindugi," ujarnya.
Yan menyebut masuk dapur rekaman dan ditayangkan di platform media sosial saat ini memang menjadi tren.
Kata dia banyak orang yang ingin menjadi terkenal dengan jalan tersebut. Sebut saja mereka yang merintis dari platform media sosial ada 'Garis Sunyi', gitaris Alif Ba Ta dan lain sebagainya.
Bahkan kata dia beberapa publisher, distributor atau aggregator tidak memungut bayaran kepada seseorang yang hendak meniti karir menjadi seleb di media sosial.
"Hanya sharing profit dari hasil yang sudah direview di media digitalnya, meski ada kurasi perolehan laporan, tapi tetap ada laporan, seperti yang kita punya sekarang, Bagbeat," ujarnya.
'4lucky entertainment' merupakan label rekaman yang mengorbitkan seseorang untuk menjadi tenar dan terkenal di bidan tarik suara alias penyanyi. Wieke El Rumi salah satunya dan banyak yang sudah diorbitkan oleh label rekaman tersebut, sebut saja Lala Pooh dan Chooky segera tayang dalam bulan ini.
Manajemen produksi '4Lucky entertainment' sendiri ada empat orang di dalamnya. Di antaranya Composer (Yan Loec), Arranger (Loeciano), Rully Akhmadi (Sound Engineering) dan Chooky(Co Producer). Rully Akhmadi diketahui bergabung di label Ascada Music dimana ada penyanyi Via Vallen yang pernah menggunakan jasanya.
Yan sempat bercerita mengenai proses rekaman lagu yang tayang di platform Youtube, Spotify dan Apple Music. Salah satunya Wieke El Rumi. Kata Yan, lagu 'Barisan Ayat AyatMu' sebetulnya hasil kolaborasi lagu Dialog, Religi yang sudah publish di tahun 2018. Karena lagu ini punya purna jual yangg lumayan di RBT telkomsel, maka dibuat versi baru dengan karakter yang lebih baru.
"Jadi hanya waktu saja, kebetulan penyanyi(Wieke) pekerja kantoran hanya waktu saja yang susah. Materi suara dan take recording, enggak sulit, karena kebetulan dihandle ahlinya dan ditambah tehnologi yang lumayan bagus," kata Yan.
Ketika ditanya mengenai ongkos produksi lagu kata Yan relatif tidak mahal. Hanya mungkin yang membedakan antara penggarapannya. "Mau full musik bersama grup atau diserahkan sepenuhnya aransemen sampai jadi pada pihak 4lucky (misalnya) banyak opsi untuk itu," ujarnya.
"Saya pikir, karena media sekarang sudah terbuka lebar, semua jadi lebih mudah dan enggak ada lagi batasan-batasan dari sebuah karya. Makanya, beberapa content atau karya akan tetap dijalankan tanpa label atau produser sekalipun, karena kesempatan akan terus ada. So, selama kita masih terus berkarya, berproduksi, dan bekerjasama dengan banyak jaringan terkait, pasti jauh lebih mudah dan enggak ada batasan pada karya tersebut," tambah Yan.
Yan mengatakan dalam kerjanya mengorbitkan seseorang menjadi artis, pihaknya dibantu publisher bernama Bagbeat. Bagbeat inilah nantinya yang menjadi kunci untuk mengurus publikasi, monetisasi dan royalti bagi label dan penyanyi.
"Bagbeat itu publisher, distributor, agregator yang menaungi karya-karya produksi yang kita buat sampai pada mendaftarkan hak royalti setiap pencipta lagu directnya langsung ke Wahana Musik Indonesia (WAMI)," ujar Yan.
Yan juga mengaku saat ini sedang menyiapkan empat single lagu lagi bergenre pop untuk Wieke El Rumi. “Di bulan ini sudah akan bisa naik empat single berikutnya, sambil tetap nyiapin materi untuk Wieke di genre pop nya,” kata Yan. Promo off air juga dilakukan Yan untuk Wieke El Rumi. Sembari terus mendorong konten lagu Wieke di media sosial untuk kepentingan promo. “Untuk sementara off airnya kita proyeksikan di kafe kita sendiri di bilangan Graha Raya kita adakan jamming dengan artisnya untuk ngenalin lagu ini. Dan tetap kita share ke beberapa media sosial untuk terus ngenalin produknya,” ujar Yan.
Dua Sisi Media Sosial
Dosen Cultural Studies Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Shuri Mariasih Gietty Tambunan, PhD menyebut banyaknya orang yang semakin mudah menjadi terkenal saat ini karena akses masyarakat ke media sosial dan user generated content seperti YouTube yang lebih praktis dan lebih mudah diakses dimana saja dibandingkan medium lama seperti televisi.
Selain itu, kata Gietty, media sosial dan youtube misalnya menjadi platform kreativitas yang lebih terbuka dibandingkan "old media." Sebagai contoh, vlog keseharian di YouTube dianggap lebih relatable (menggambarkan keseharian) dibandingkan reality show di televisi yang lebih menjual sensasi.
"Walaupun ada juga konten youtube yang menjual sensasi, tapi ada konten youtube yang sangat sederhana misalnya vlog grocery haul (ibu-ibu rumah tangga menunjukkan hasil belanja bulanannya) dan memperoleh engagement yang tinggi. Ada rasa kesamaan antara penonton dan apa yang mereka tonton yang mungkin lebih relatable dibandingkan menonton konten di media seperti televisi," ujar Gietty.
"Ini bagian dari perubahan dan dinamika budaya yang tentu sangat dikondisikan dari perkembangan media digital," tambahnya.
Media sosial lanjut Gietty sangat berperan mengubah tatanan sosial dan budaya. "Tentu sangat berperan karena media sosial sama halnya dengan media-media lainnya adalah wadah artikulasi budaya. Budaya tidak stagnan, sangat kompleks dan terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat," ujar Gietty.
Gietty menjelaskan pengaruh media sosial terhadap perilaku sosial dan perubahan budaya sebenarnya tidak melulu selalu miring atau negatif. Di sisi lain influencer itu juga bisa empowering, menggunakan platformnya membahas isu-isu yang memberdayakan.
Misalnya kata Gietty selama pandemi covid-19, influencer justru bisa membongkar hoax atau fake news karena mereka mungkin lebih 'didengar' dibandingkan suara otoritas seperti pemerintah. "Konsumtif pasti ada tapi harus dilihat sisi lain juga bahwa media sosial membuka kesempatan untuk menyampaikan narasi-narasi alternatif yang tidak bisa disuarakan di media mainstream. Sama halnya dengan semua jenis media. Bisa jadi wadah untuk pemberdayaan walaupun di sisi lain ada komodifikasi, komersialisasi," ujar Gietty.
Lalu bagaimana audiens dan publik harus menerima dan menyaring apa yang ada di media sosial saat ini agar tidak terpapar pengaruh negatifnya? Gietty mengatakan audiens atau konsumen itu tidak 'bodoh' dan punya agensi dalam merespon secara kritis. Dalam media studies memang ada pemikiran yang menganggap konsumen itu pasif dan menerima mentah-mentah apa yang mereka konsumsi.
Tapi kata dia ada juga perspektif yang menganggap konsumen itu aktif dalam memaknai apa yang mereka konsumsi. Pada dasarnya filter itu datang dari apa yang sudah dialami si konsumen sepanjang hidupnya (misal dari keluarga, pendidikan, dll).
"Apakah konsumen selalu dibodohi jawabannya tidak. Harus dilihat secara case by case. Literasi media dan kemampuan berpikir kritis adalah dua hal yang sebaiknya dimiliki untuk bisa menjadi konsumen yang secara aktif memaknai apa yang ditawarkan media," ujar Gietty. (Willy Widianto)