Sapardi Djoko Damono Meninggal
Karya Sastranya Terkenal, Sapardi Djoko Damono Tak Pernah Paksa Anaknya Jadi Sastrawan
Sebagai satrawan besar di Indonesia, almarhum Sapardi Djoko Damono tak pernah memaksa anak-anaknya untuk menjadi sastrawan.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Bayu Indra Permana
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai satrawan besar di Indonesia, almarhum Sapardi Djoko Damono tak pernah memaksa anak-anaknya untuk menjadi sastrawan.
Bahkan almarhum membebaskan anak-anaknya untuk memilih jalan karirnya menjadi apapun yang diinginkan.
Bawuk anak bungsu Saparti Djoko Damono mengungkapkan sosok sang ayah yang tak pernah memaksakan kehendak.
"Haha nggak (maksa), mungkin tepatnya saya yang menghindar (dari sastra)," kata Bawuk saat ditemui di TPU Giritama, Bogor, Minggu (19/7/2020).
Satu hal yang selalu diingat Bawuk dari ayahnya adalah pesan untuk terus belajar dan sekolah. Jangan pernah berhenti untuk belajar.
"Susah ya, yang jelas pesan beliau satu. Sekolah, ya pokoknya sekolah belajar," bebernya.
Bawuk juga membeberkan penyakit terakhir yang bersarang di tubuh Sapardi Djoko Damono sebelum meninggal dunia.
Saat-saat terakhir dirawat, Sapardi mengalami infeksi pada organ paru-paru sehingga terdapat cairan yang harus dibersihkan.
Baca: Sapardi Djoko Damono Sudah Lama Minta Keluarga Siapkan Tempat Pemakaman
Baca: Jelang Akhir Hayatnya, Sapardi Djoko Damono Hanya Minta Minum Teh Hangat

"Hmm.. sulit dijawab sih karena ada gabungan beberapa hal. Tapi kemarin itu ada infeksi di paru-paru," katanya.
"Ada cairan yang banyak. Kemarin mau memperbaiki itu cuma berat juga mungkin di badannya," tutur Bawuk.
Sapardi Djoko Damono meninggal dunia di usia 80 tahun di RS Eka Hospital pada Minggu (19/7/2020) pukul 09.17 WIB.
Sapardi meninggal karena sakit komplikasi yang dialaminya dan di saat terakhir, Sapardi hanya meminta teh hangat yang disediakan oleh anggota keluarganya.

Siapkan Makam
Sapardi Djoko Damono rupanya sudah mempersiapkan dimana dirinya akan beristirahat untuk selamanya.
Dikatakan putri bungsunya, Bawuk. Sapardi sudah memesan untuk disiapkan kuburan di TPU Giritama, Bogor.
Bawuk menilai ayahnya itu sudah menyadari usianya yang semakin tua dan sudah mempersiapkan hari-hari terakhirnya.
"Pesen bapak sih (dimakamkan di TPU Giritama). Saya nggak tahu bisa cerita seberapa banyak mungkin namanya udah tua ya, udah ada beberapa persiapan di sini," kata Bawuk di TPU Giritama, Giri Tonjong Bogor, Minggu (19/7/2020)
Ketika kemarin masuk ke Eka Hospital itu udah ada persiapan. Sambil berharap ya bersiap. Kalau persiapan yang macam-macem baru sejak dirawat sih," terangnya.
Bawuk mengatakan tak ada firasat apapun pada dirinya tentang kepergian sang ayah.
Ia hanya melihat sang ayah sudah siap untuk pergi di saat-saat terakhirnya.
"Firasat ada-ada nggak sih, ya seperti itulah seperti normalnya orang sedang menghadapi...," kata Bawuk yang sempat terhenti ucapannya karena menahan air mata.
"Yaa selayaknya orangtua," lanjutnya.
Sapardi Djoko Damono dimakamkan di TPU Giritama, Giri Tonjong Bogor pada Minggu (19/7/2020) sore sekira pukul 16.15 WIB.
Prosesi pemakaman Sapardi berlangsung khidmat karena tak banyak pelayat yang hadir.
Hanya terlihat keluarga dan sahabat dekat yang mengantarkan sastrawan kenamaan Indonesia itu ke peristirahatan terakhirnya.
Profil Singkat Sapardi Djoko Damono
Melansir dari laman Wikipedia, Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940.
Ia merupakan sastrawan besar Indonesia, sekaligus akademisi dari Universitas Indonesia.
Sapardi Djoko Damono tercatat sebagai lulusan SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955.
Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958.
Pada masa ini, SDD sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah.
Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tahun 1973, Sapardi Djoko Damono pindah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison.
Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, tetapi kini telah pensiun.
Sapardi Djoko Damono pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999, kemudian menjadi guru besar.
Saat itu pula Sapardi Djoko Damono juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia,
Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur.
Semasa hidupnya, Sapardi Djoko Damono aktif mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.
Penghargaan Sapardi Djoko Damono
Pada tahun 1986, Sapardi Djoko Damono mendapatkan anugerah SEA Write Award.
Tahun 2003, Sapardi Djoko Damono menerima penghargaan Achmad Bakrie.
Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
Karya-karya Sapardi Djoko Damono
Duka-Mu Abadi (1969)
Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
Mata Pisau (1974)
Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
Perahu Kertas (1983)
Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)
Suddenly The Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn)
Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
Hujan Bulan Juni (1994)
Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling)
Arloji (1998)
Ayat-ayat Api (2000)
Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
Mata Jendela (2002)
Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen)
Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia Periode Awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantra tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (2005; translated by J.H. McGlynn)
Kolam (2009; kumpulan puisi)
Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012; kumpulan puisi)
Namaku Sita (2012; kumpulan puisi)
The Birth of I La Galigo (2013; puitisasi epos "I La Galigo" terjemahan Muhammad Salim, kumpulan puisi dwibahasa bersama John McGlynn)
Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak sejak 1959, 2013; kumpulan puisi)
Trilogi Soekram (2015; novel)
Hujan Bulan Juni (2015; novel)
Melipat Jarak (2015, kumpulan puisi 1998-2015)
Suti (2015, novel)
Pingkan Melipat Jarak (2017;novel)
Yang Fana Adalah Waktu (2018;novel)