Tambang Nikel di Raja Ampat
Skandal Tambang Nikel Raja Ampat, Komisi XII DPR Geram dan Ancam Ini
Komisi XII DPR RI geram soal skandal tambang nikel Raja Ampat dan ancam cabut izin perusahaan pelanggar lingkungan.
Penulis:
Chaerul Umam
Editor:
Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi XII DPR RI geram setelah skandal tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat, terungkap.
Aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan tersebut memicu ancaman keras dari DPR untuk menindak tegas perusahaan-perusahaan pelaku.
Dalam waktu dekat, Komisi XII akan langsung turun ke lokasi.
Upaya turun ke lokasi itu untuk memastikan regulasi lingkungan dipatuhi dan jika ditemukan pelanggaran serius, izin operasional tambang akan segera dicabut.
“Saya akan turun langsung ke lapangan untuk memastikan bahwa perusahaan tambang mematuhi regulasi lingkungan dan tidak merugikan masyarakat. Kalau hal tersebut terbukti dilanggar, tentu kami akan meminta pihak berwenang segera menutup operasinya,” ujar Anggota Komisi XII DPR RI, Ratna Juwita Sari, di Jakarta, Sabtu (7/6/2025).
Baca juga: Soal Izin Tambang Nikel di Raja Ampat, Anggota DPR: Jika Ada Indikasi Suap Harus Diperiksa
Legislator dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu juga menyoroti pentingnya melibatkan pakar dan akademisi dalam evaluasi dampak ekologis dari investasi industri ekstraktif.
Menurutnya, keberadaan para ahli green economy di Indonesia harus dioptimalkan dalam proses perencanaan dan pengawasan kegiatan industri.
“Kerusakan alam dapat mengurangi potensi ekonomi jangka panjang, seperti sektor pariwisata dan perikanan, serta mengancam kelestarian ekosistem. Jangan sampai dalih hilirisasi dijadikan alasan untuk mengabaikan prinsip keberlanjutan lingkungan,” ucapnya.
Sejalan dengan pernyataan Ratna, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Hariyadi, melontarkan kritik keras terhadap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dinilai tebang pilih dalam menangani aktivitas tambang di Raja Ampat.
Ia menyoroti tiga perusahaan swasta yang dianggap sebagai perusak utama kawasan tersebut, namun belum mendapat tindakan tegas dari pemerintah.
Ketiga perusahaan itu adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).
Bambang menyebut, PT ASP—yang berasal dari Tiongkok—telah terindikasi melakukan pencemaran laut dan merusak ekosistem berdasarkan data resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Sementara PT KSM diketahui beroperasi dekat dengan kawasan konservasi sejak 2023, dan PT MRP sudah melakukan pengeboran tanpa izin lingkungan yang sah.
Ironisnya, kata Bambang, pemerintah justru menghentikan sementara operasional PT Gag Nikel—anak usaha BUMN PT Antam—yang pelanggarannya tergolong ringan dan memiliki lokasi tambang yang jauh dari kawasan wisata.
Padahal, PT Gag Nikel mengantongi izin Kontrak Karya yang diterbitkan sebelum terbentuknya Kabupaten Raja Ampat, sedangkan izin ketiga perusahaan swasta berasal dari pemerintah daerah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.