Respons Wali Kota Solo, DPRD, hingga Dinas Perdagangan soal Ayam Goreng Widuran Nonhalal
Kuliner yang mengandung minyak babi, tetapi tak mencantumkan label nonhalal menghebohkan warga Solo, Jawa Tengah, yaitu Ayam Goreng Widuran.
TRIBUNNEWS.COM - Kuliner yang mengandung minyak babi, tetapi tak mencantumkan label nonhalal menghebohkan warga Solo, Jawa Tengah.
Kuliner itu cukup terkenal karena sudah berdiri sejak 1973, yaitu Ayam Goreng Widuran yang terletak di Jalan Sutan Syahrir No. 71, Kepatihan Kulon, Kecamatan Jebres, Solo.
Akibat peristiwa ini, warung tersebut banyak memperoleh review bintang satu di Google.
Para pelanggan muslim pun kecewa karena ayam goreng yang yang sudah mereka konsumsi mengandung babi.
Berikut sejumlah komentar dari Wali Kota Solo, DPRD, hingga Dinas Perdagangan soal kasus ini yang dirangkum oleh Tribunnews.com.
1. Wali Kota Solo
Wali Kota Solo Respati Ardi mengaku, Ayam Goreng Widuran menjadi langganan almarhum mertuanya.
Saat mertuanya masih hidup, jelasnya, tak jarang keluarganya menyantap makanan dari warung tersebut.
Respati pun mengaku sangat kecewa atas informasi yang ditutup-tutupi oleh pihak pengusaha warung.
"Itu ayam goreng kesukaan almarhum mertua saya, jadi kami sekeluarga cukup kecewa," ungkap Respati, Minggu (25/5/2025).
Respati lantas merespons polemik ini dengan melakukan rapat mendadak bersama sejumlah Organisasi Pemerintahan Daerah (OPD).
Salah satunya adalah segera mengeluarkan regulasi untuk mengatur terkait kuliner halal dan nonhalal yang ada di kota Solo.
Baca juga: Heboh Ayam Goreng Widuran Solo Non-Halal, Ini Resep Kremesan Gurih, Kuncinya Pada Bahan Ini
"Jadi saya mengapresiasi kalau sampai minta maaf. Tapi hari ini saya sudah bergerak bersama Satpol PP dan Disdag, kita akan melakukan percepatan terkait sertifikasi halal. Ini masalah perlindungan konsumen."
"Kami serius, pemerintah kota akan menyisir dan menyosialisasikan sertifikasi halal. Dan memang kita akan mencari juga yang memang makanan tidak halal, silakan diklaim tidak halal. Tapi kalau ada yang ingin mendapatkan sertifikasi halal, kita akan melakukan percepatan untuk kuliner yang ingin mendapatkan sertifikasi halal," terangnya.
Ketika disinggung soal sanksi yang akan diberikan kepada pemilik usaha, Respati mengaku tidak akan menutup izin usaha apabila pengelola segera melakukan perbaikan.
"Administratif kalau memang itu masih berulang maka nanti akan ada sanksi lain berupa penutupan usaha. Tapi apabila sudah menyatakan kesalahannya akan melakukan sanksi yang lebih," jelasnya.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa pihaknya memperingatkan secara tegas atas apa yang dilakukan oleh pengelola usaha tersebut yang telah menutupi terkait informasi bahan makanan nonhalal yang selama ini digunakan.
"Ini peringatan, kalau ada lagi (kasus serupa) kami akan tindak tegas dengan sanksi penutupan bagi yang tidak mendeklarasikan sesuai dengan bahan bakunya. Kami juga akan segera turun dengan badan sertifikasi halal," tegasnya.
Atas keluhan masyarakat karena kecewa dengan perbuatan pengelola makanan tersebut, Respati pun mengimbau pengusaha kuliner lain untuk tidak melakukan hal serupa.
"Saya sangat memaklumi (keluhan masyarakat) karena tidak adanya keterbukaan dari pihak penjual. Maka dari itu saya menghimbau seluruh pengusaha kuliner di Solo, kami tidak akan menutup kalau memang halal katakan halal. Kalau tidak halal, katakan tidak halal," ucapnya.
2. Anggota DPRD
Anggota Komisi IV DPRD Solo dari Fraksi PKS, Sugeng Riyanto juga merasa dirugikan atas peristiwa ini.
Ia mengaku baru mengetahui informasi tersebut setelah menyantap makanan dari Ayam Goreng Widuran beberapa hari sebelumnya.
"Yang pertama saya perlu sampaikan bahwa saya termasuk korban, juga Komisi IV DPRD. Sekitar dua pekan lalu, setelah sidak, ada usulan makan siang di warung itu. Kami tidak tahu kalau ada bahan nonhalal. Makanan dibungkus dan dibawa pulang. Baru beberapa hari kemudian muncul pengumuman itu," ujar Sugeng saat dihubungi, Minggu.
Sugeng menyesalkan tidak adanya informasi yang memadai dari pihak penjual mengenai status kehalalan produk yang dijual.
Ia menyebut hal tersebut menyesatkan, terutama bagi konsumen muslim di Kota Solo.
Alih-alih berhenti pada kritik, Sugeng mengusulkan agar kejadian ini menjadi momentum untuk mendorong pembentukan Peraturan Daerah (Perda) tentang aturan makanan nonhalal.
"Ini menjadi momen yang baik bagi DPRD Solo untuk lebih peduli, dengan membuat Perda yang menjamin kehalalan produk sekaligus melindungi konsumen. Karena kasus semacam ini bisa menipu konsumen yang tidak mendapat informasi yang cukup," tambahnya.
Ia juga menyoroti bahwa beberapa konsumen yang membeli makanan di warung tersebut tampak jelas beridentitas muslim, salah satunya terlihat mengenakan jilbab.
Menurutnya, hal itu seharusnya menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha untuk secara proaktif menyampaikan informasi kehalalan produk yang dijual.
Sugeng juga mendorong Pemkot Solo untuk mengambil langkah konkret melalui perangkat daerah terkait, seperti Satpol PP dengan mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
"Kalau dari sisi pemerintah daerah, saya kira bisa menggunakan perangkat yang ada, termasuk Satpol PP dan kepolisian, dengan rujukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ini bisa menjadi dasar untuk mengambil tindakan terhadap penjual yang tidak transparan," tegasnya.
Sugeng kemudian mengusulkan agar pelabelan halal dan nonhalal menjadi bagian dari syarat perizinan usaha kuliner di Solo.
Langkah itu dinilai lebih preventif dan bisa memberi kepastian kepada konsumen sejak awal.
"Sebelum izin usaha dikeluarkan, pencantuman label halal atau nonhalal bisa diwajibkan. Ini bagian dari penegakan hukum sekaligus perlindungan bagi masyarakat," ungkapnya.
3. Dinas Perdagangan
Sementara itu, Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) Kota Solo, Agus Santoso menegaskan bahwa kaitan penempelan label halal maupun nonhalal memang bukan wewenang dari pihaknya.
Namun, Agus menerangkan bahwa sejumlah OPD yang membidangi, baik terkait kuliner maupun usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) telah melakukan pertemuan untuk membahas polemik yang terjadi.
"Sebetulnya terkait halal-nonhalal itu bukan berada di OPD kami. Tapi kemarin beberapa OPD sudah rapat. Dan nanti Selasa malam akan kita cek ke lapangan. Dari pertanian, UMKM, Dispar, dan lainnya. Karena yang berkompeten ya DKK sama balai POM."
"Kalau kami urusannya terkait makanan berbahaya, cuma memang harus ada transparansi kepada para pembeli," ungkap Agus, Minggu.
Saat disinggung mengenai aturan perlindungan konsumen, Agus mengatakan bahwa OPD tersebut belum ada di Kota Solo dan hanya ada sampai tingkat provinsi.
"Memang terkait halal atau non halal memang yang memfasilitasi itu dari dinas UMKM, Koperasi dan Perindustrian," terangnya.
Sementara itu, Agus juga menyebutkan bahwa memang tidak ada aturan di Perda terkait pencantuman label halal maupun non halal bagi usaha kuliner di Kota Solo.
Namun demikian, pencantuman tersebut memang diakui Agus berada di kewenangan pemilik usaha.
Maka, dirinya meminta para pemilik usaha untuk bisa mencantumkan label tersebut agar tidak mengecoh masyarakat.
"Kalau halal dan nonhalal bukan ada di dinas perdagangan. Itu terkait di restoran atau warung makan, sebaiknya dicantumkan labelnya apalagi sekarang kan ada balai jaminan perlindungan produk halal yang baru ada di Jakarta," pungkasnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunSolo.com dengan judul Wali Kota Solo Respati Kecewa Ayam Goreng Widuran Pakai Bahan Nonhalal: Dulu Langganan Mertua.
(Tribunnews.com/Deni)(TribunSolo.com/Andreas Chris)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.