Kurangnya Pengawasan Bikin Remaja Rentan Alami Pelecehan Seksual di Media Sosial
Faktor yang melatarbelakangi timbulnya pelecehan seksual itu, lanjutnya, disebabkan oleh rendahnya kompetensi literasi digital.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan SDM Relawan TIK Bali, Ni Luh Putu Ning Septyarini mengatakan, saat ini sedang marak pelecehan seksual di ruang digital terutama yang melalui media sosial.
Tindak pidana kejahatan pelecehan seksual melalui media sosial adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindakan asusila melalui sarana media informasi dan transaksi elektronik yang dapat menimbulkan trauma fisik dan psikis.
Baca juga: KPPPA Catat Pelecehan Seksual Anak Capai 8.538, Speak Up Ajak Penyintas Bersuara
“Tindak pelecehan seksual yang sering terjadi di media sosial dapat berupa rayuan, godaan, atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya yang dapat dilakukan dengan cara chatting, komentar, direct message, mengirim foto, video bermuatan seksual atau pornografi melalui media sosial, seperti WhatsApp, Instagram, Twitter, YouTube, Facebook dan lain sebagainya,” ujarnya saat Workshop Literasi Digital di Bandung, Senin (24/7/2023).
Selain Ni Luh Putu Ning Septyarini, dalam acara yang mengangkat tema Mengenal Kekerasan Seksual di Ruang Digital: Revenge Porn menghadirkan narasumber manajer konsultan Anwar Sadat; dosen Ilmu Komunikasi UNITRI Malang Asfira Rachmad.
Menurut Ni Luh Putu, faktor yang melatarbelakangi timbulnya pelecehan seksual itu, lanjutnya, disebabkan oleh rendahnya kompetensi literasi digital.
Penyebab lainnya adalah kurangnya pengawasan bagi pengguna di kalangan remaja, serta rendahnya kesadaran atas konsekuensi hukum terhadap pelaku pelecehan seksual di ruang digital.
Padahal, setidaknya ada tiga undang-undang (UU) yang mengatur tentang kejahatan pelecehan seksual, yaitu KUHP Pasal 282 Ayat 1; UU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi; dan UU Nomor 19 Tahun 2016 Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Sebagai warganet dan warga Negara Indonesia yang taat hukum, kita harus sadar pentingnya menjaga tindak tutur dan perilaku selama melakukan kegiatan di sosial media termasuk tindakan kekerasan seksual juga harus dihindari dalam berinteraksi di media digital.
Sebaliknya, penerapan budaya digital yang baik harus selalu dapat diimplementasikan untuk menciptakan ruang lingkup digital yang lebih kondusif dan produktif,” ucapnya.
Asfira Rachmad menambahkan, saat ini juga sedan marak istilah revenge porn, yaitu penyebaran konten pornografi tanpa persetujuan orang yang ada di dalam foto atau video tersebut sebagai wujud kecemburuan, balas dendam, maupun rasa tidak terima.
Baca juga: Prilly Latuconsina Tegas Jadi Produser, Jika Ada Kru yang Lakukan Pelecehan Seksual, Ancam Dipecat
Oleh karena itu, ia mengingatkan pengguna internet untuk senantiasa berhati-hati dalam berselancar di dunia maya. Jangan sampai jejak yang tertinggal di dunia maya itu berpotensi untuk dicari, dilihat, dan dipublikasikan oleh orang lain.
“Penting bagi kita untuk mengetahui jenis jejak yang ditinggalkan dan apa dampaknya di kemudian hari,” tuturnya.
Menurut Asfira, tips untuk menghindari revenge porn adalah tidak membagi-bagikan foto pribadi secara berlebihan kepada orang lain maupun lawan jenis.
Hindari pula pengambilan foto secara eksplisit kepada diri sendiri. Ia juga menyarankan untuk menggunakan foto profil secara wajar dan sopan. Berikutnya adalah melindungi akses ponsel pribadi agar tidak diakses orang lain.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.