Rabu, 1 Oktober 2025

10 Tahun Erupsi Merapi

Kijang Merah Kamto dan Detik-detik Letusan Dahsyat Merapi 26 Oktober 2010

Menggunakan mobil Toyota Kijang warna merah nopol AB 1927 KZ, Pakde Kamto membantu mengevakuasi warga Ngrangkah hingga Kinahrejo

Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga
Mobil Kijang merah milik Kamto, mengevakuasi warga Kinahrejo tepat detik-detik Merapi meletus 26 Oktober 2010 

TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA  – Selasa petang, 26 Oktober 2010, terus dikenang Sukamto sebagai momen yang menggiriskan. Peristiwa sudah berlalu 10 tahun, namun segalanya seperti masih di pelupuk mata.

Yohanes Berman Sukamto, ia kini biasa dipanggil Pakde Kamto, dua kali naik turun Umbulharjo-Kinahrejo, di saat-saat tergenting menjelang letusan eksplosif Merapi.

Menggunakan mobil Toyota Kijang warna merah nopol AB 1927 KZ, Pakde Kamto membantu mengevakuasi warga Ngrangkah hingga Kinahrejo.

Saat naik pertama sesudah pukul 17.00, ia membawa serta Yopi, relawan Satlak Penanggulangan Bencana Sleman.

Berdua, mereka melesat naik hingga pertigaan gerbang pendakian Merapi via Kinahrejo. Di lokasi ini terdapat tower Early Warning System (EWS).

Baca juga: Ternyata Ada Misi Rahasia yang Dilakukan Jelang Erupsi Besar Merapi 10 Tahun Lalu, Ini Kata Pakar

Ada menara besi yang dipasangi sirine bahaya. Yopi menyalakan tombol sirine, beberapa detik sesudah pukul 17.02. Itulah letusan pertama Merapi.

Sesudah sirine meraung-raung, Yopi dan Pakde Kamto turun sembari menyisir serta mengangkut beberapa warga yang bersedia diajak turun.

Detik-detik Merapi meletus 26 Oktober 2010 mobil Kijang merah milik Kamto mengevakuasi warga
Mobil Kijang merah milik Kamto, mengevakuasi warga Kinahrejo tepat detik-detik Merapi meletus 26 Oktober 2010

“Ada yang sudah siap di pinggir jalan. Tapi jumlahnya sudah tidak banyak. Orang tua dan anak-anak serta ibu hamil sudah hari sebelumnya dievakuasi,” kata Pakde Kamto.

Warga Dusun Sumberan, Candibinangun, Pakem, Sleman ini diwawancarai secara khusus di bumi perkemahan Sinolewah, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.

Area perkemahan ini dikelola Sukamto selama bertahun-tahun. Saat Merapi meletus 10 tahun lalu, ia sudah mengurusi lokasi ini.

Karena itu, Sukamto yang pernah jadi agen Koran/majalah terbesar di Pakem ini, sangat akrab dan mengenal baik lereng selatan Merapi.

Kisah Sukamto dan Kijang merahnya sengaja diangkat Tribun, karena foto dan video aksi heroik Sukamto terekam di kamera wartawan Tribun dan divideokan seorang jurnalis televisi.

Sejak peristiwa 26 Oktober 2010, belum pernah ada media manapun yang mengangkat sosok Sukamto dan cerita evakuasi di detik-detik akhir sebelum Merapi menyembur.

“Saya tidak kepikiran apa-apa waktu itu. Mengalir saja, berusaha bantu warga yang bersedia dievakuasi,” kata Sukamto sembari menyebut suasana sore itu seperti biasa saja.

Tidak banyak kendaraan atau motor lalu lalang sepanjang jalur jalan antara pertigaan Balai Desa Umbulharjo hingga Kinahrejo.

Setelah naik dan kemudian turun menurunkan warga di balai desa, Sukamto bersiap kembali naik. Ia mengajak serta seorang pegawainya.

Seorang jurnalis televisi minta izin ikut naik dan duduk di kursi tengah.

“Waktunya mungkin sudah menjelang 17.30 WIB,” kata lulusan SMP dan SPG Kanisius Pakem ini.

Baca juga: Kisah 7 Petugas Merapi Jalankan Misi Rahasia Sepekan Sebelum Merapi Meletus Hebat 10 Tahun Lalu

Suasana langit mulai redup saat kendaraan bergerak mendaki lereng gunung. Sirine masih meraung-raung. Kamto mendengar lewat radio komunikasi atau HT yang ada di mobilnya.

Suara gemuruh terdengar makin jelas dari arah puncak Merapi.

“Suara gluduk-gluduk, dan abu sudah turun,” kenangnya.

Di pertigaan Dusun Ngrangkah, mobil Kijang merah Kamto berhenti sebentar. Ada truk melaju turun dari arah Kinahrejo. Ada beberapa warga menumpang di bak belakang.

Sejurus kemudian,Kamto melanjutkan perjalanan. Suasana jalan makin gelap, hujan abu menderas. Beberapa kali pegawainya menyiramkan air dalam botol ke kaca depan.

Wiper kaca terlihat berat mengayun.

“Saya waktu itu tidak punya rencana atau target ke Mbah Maridjan,” kata Kamto yang tidak ikut komunitas relawan manapun saat itu.

Mesin mobilnya meraung-raung saat mendaki tanjakan jelang Dusun Kinahrejo.

“Mesin kendaraan tidak ada masalah. Lancar, cuma jalan pelan, kaca buram,” lanjutnya.

Mobil berhenti di pertigaan jalan menuju rumah Mbah Maridjan. Di titik itulah Kamto memutar kendaraannya.

“Sekali putar bisa balik arah. Saya sampe heran, karena jalannya sempit,” ujarnya.

Di sebelah barat rumah itu, Kamto melihat ada sekelompok pria duduk-duduk di teras sebuah rumah. Mereka meriung, menolak saat diajak turun.

Sukamto foto berlatar mobil kijang yang digunakan untuk evakuasi warga
Sukamto foto berlatar mobil kijang yang digunakan untuk evakuasi warga saat Gunung Merapi meletus 26 Oktober 2010

Rekaman video yang diunggah akun You Tube Jogja Magazine , memperlihatkan para pria itu tampak enggan dan ingin bertahan menjaga kampungnya.

Kamto yang sudah mendengar informasi di radio komunikasi supaya warga segera turun karena bahaya, meninggalkan mereka.

“Saya segera minta tinggalkan mereka, dan kita turun. Di beberapa titik kita ambil warga yang menunggu di tepi jalan,” ungkapnya.

Sukamto membawa mereka ke Balai Desa Umbulharjo, dan ia bergegas menuju Bumi Perkemahan Sinolewah, mengevakuasi barang-barang miliknya.

“Saya tidak tahu lagi apa yang terjadi sesudah itu, dan hanya mendengar awan panas menyapu Kinahrejo,” ujar Kamto yang pernah membantu warga Turgo terdampak letusan 1994.

Pria berusia 61 tahun itu mengaku bersyukur, lolos dari terjangan awan panas. Andai saja ia terlambat turun, mungkin tidak akan selamat.

Mobil Kijang merahnya juga masih dirawat sangat baik.

“Saya cat ulang, karena habis erupsi itu semua berkarat karena abu vulkanik itu sangat korosif,” ujar Kamto.

Baca juga: BPPTKG Sebut Erupsi Merapi Semakin Dekat, Letusan Tak Akan Sebesar 2010, Ini Penjelasannya

Mobil itu terus menemaninya berkegiatan di lereng Merapi, dan ke berbagai tempat karena Sukamto aktif di seni kerawitan. Ia punya sanggar seni di Dusun Pandanpuro, Candibinangun.

Mobil yang sama ditumpangi wartawan Tribun pada 2 Oktober 2020, saat napak tilas jejak usaha penyelamatan yang dilakukan Kamto di sore jelang petang, Selasa, 26 Oktober 2010.  

Mbah Mujirah, Warga Ngrangkah Lolos dari Wedhus Gembel

Mbah Mujirah, warga Ngrangkah, rumahnya beberapa puluh meter  di bawah kediaman almarhum Mbah Maridjan, mengaku mengetahui Sukamto naik, melintas sebelah rumahnya, mengajaknya turun sore itu.

“Tapi saya nggak mau, karena harus ngurusi sapi. Di rumah sudah kosong tidak ada siapa-siapa. Simbok sudah mengungsi sehari sebelumnya (Senin, 25 Oktober 2010),” kata Mujirah kepada Tribun.

Mujirah juga beruntung lolos dari maut, meski ia terkurung di dalam rumahnya saat awan panas menyapu Kinahrejo.  

Entah karena mukjizat atau sapuan awan panas tidak langsung menyapu rumahnya, Mujirah tidak mengalami luka berarti.

Ia sempat menjerang air dan memasukkan ke dalam dua termos untuk persediaan malam hingga paginya.

“Waktu mendengar tatit (suara kilat petir), saya baru yakin Merapi benar-benar meletus. Tadinya ya saya percaya tidak akan melewati Kinah,” kata perempuan abdi dalem Keraton Yogyakarta ini.

Nama abdi dalem Mujirah menurut serat kekancingan keraton,. Surakso Boga Taruno. Ia tercatat sebagai abdi dalem sejak sebelum 2006.

Ia tidak ingat persis waktunya pukul berapa saat itu, tapi Mujirah mendengar gelegar petir diikuti gemuruh dan berisik suara pohon patah atau bertumbangan.

“Saya hanya mondar-mandir di dalam rumah. Genting berjatuhan, pecah tertimpa dahan atau ranting pohon yang jatuh,” lanjutnya.

Selama beberapa menit, Mujirah hanya mondar-mandir di ruang tengah, dapur, mengintip dari balik pintu sapi-sapi di kandang sebelah rumahnya.

“Saya pasrah saja. Kepikiran saja mau mati di ruang tamu atau di kamar. Bingung. Listrik juga mati,” imbuh Mujirah.

Ia mencoba membuka pintu rumah, tapi sedikit saja daun pintu terbuka, hawa panas meruap dari luar. Ia buru-buru menutup kembali pintunya.

Baca juga: Mengintip Keindahan Desa Wisata Pentingsari di Lereng Gunung Merapi yang Mendunia

“Panas sekali itu hawanya dari luar,” kata Mujirah. Setelah beberapa menit berlalu, Mujirah duduk terdiam di dalam rumah.

“Sunyi sekali. Benar-benar tidak ada suara apa-apa. Sapi-sapi juga diam, blas tidak ada lenguhan atau suara apapun,” kenangnya. 

Ia melongok ke kandang, ternyata satu ekor sapi terjerat tali. Setengah tubuhnya di luar kandang. Sepertinya berusaha kabur saat wedhus gembel menyapu.

Bermenit-menit kemudian, ia baru mendengar sayup-sayup derum mesin mobil dan suara orang-orang.

“Siapa mereka saya tidak tahu. Saya hanya mendengar ada yang teriak minta tolong di jalan dekat rumah,” katanya.

Belakangan ia baru tahu, dua putra Lurah Umbulharjo waktu itu, Pak Bejo, terjebak di Ngrangkah, atau persisnya jalan menuju Kinahrejo.

Arif dan Wahyu, nama dua putra Pak Lurah Bejo, tersambar awan panas dan mengalami luka bakar serius.

“Saya mendengar ada yang nanya, kamu siapa? Wahyu dan Arif, putra Pak Bejo,” ujar Mijirah menirukan yang didengarnya petang itu.

Kedua korban diangkut mobil bak terbuka milik Bagyo, sekarang jadi Kepala Dusun Ngrangkah, kendaraan pertama yang masuk Kinahrejo setelah letusan besar petang itu. 

Mujirah kemudian keluar rumah menenteng senter, ikut naik mobil bak terbuka, yang langsung melesat ke arah Balai Desa Umbulharjo.

Berhenti sebentar, mobil langsung meneruskan perjalanan membawa korban luka bakar ke RS Panti Nugroho, Pakem. Mujirah ikut ke rumah sakit itu, hingga paginya dipindah ke pengungsian. 

Rentetan letusan Merapi Oktober-November 2010, membuat rumah temboknya di Dusun Ngrangkah ludes, menyisakan pondasi belaka.

Ia hanya smepat menyelamatkan empat ekor sapinya, keesokan harinya, atau Rabu 27 Oktober 2010. Sapi-sapi itu semuanya berluka bakar. “Mesakke (kasihan) keadaannya,” katanya.

Ternak piaraannya itu dipindahkan ke tanah kosong di sebelah timur Balai Desa Umbulharjo, sebelum beberapa hari kemudian dipindahkan lagi ke lokasi aman di Sleman.

Mengingat momen 10 tahun lalu, Mujirah hanya bisa bersyukur semua keluarganya selamat dari bencana mengerikan itu.

Suasana seram ketika ia terjebak di dalam rumah, yang sekelilingnya diterjang awan panas, masih ia ingat betul.

Jauh sesudah jadi pengungsi, Mujirah yang tidak lulus SD, memperoleh jatah rumah di Huntap Karangkendal, Umbulharjo.  Tapi ia kini tinggal di komplek Bumi Perkemahan Sinolewah.

(Tribunnews.com/ Setya Krisna Sumarga) 

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved