Ramai Kisruh Tanah 33 CM di Sragen, Begini Cara Aman Beli Tanah Agar Tak Terkena Sengketa
Belajar dari kasus sengketa tanah di Sragen, berikut cara aman membeli tanah supaya tidak menimbulkan sengketa di kemudian harinya.
TRIBUNNEWS.COM - Belakangan ini, kisruh sengketa tanah selebar 33 cm di Dukuh Kawis Dulang, Desa Wonokerso, Sragen, Jawa Tengah, sedang ramai diperbincangkan.
Sengketa tanah tersebut membuat hubungan dua warga yang tinggal bersebelahan menjadi kian memburuk.
Diberitakan Tribun Solo, dua warga tersebut bahkan saling menggugat hingga melakukan pengrusakan tembok.
Belajar dari kasus ini, apa hal yang harus kita lakukan ketika membeli tanah supaya tak menciptakan permasalahan hukum atau sengketa di kemudian hari?
Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Solo, M Badrus Zaman, memberikan tips aman membeli tanah agar tak terkena sengketa.
Menurut Badrus, supaya membeli tanah aman dari permasalahan hukum, maka sebaiknya pembeli segera melakukan balik nama.
Pasalnya, Badrus mengatakan, hal tersebut bisa menjadi persoalan apabila penjual tanah meninggal dunia.
"Menurut saya kalau jual-beli tanah harus segera dibaliknamakan."
"Karena kalau nanti tidak dibaliknamakan, misalnya nanti yang jual itu meninggal, itu nanti bagaimana ahli warisnya?" kata Badrus dalam wawancaranya yang ditayangkan langsung di kanal YouTube Tribunnews.com, Senin (27/7/2020) sore.
Badrus menyebutkan, hal ini juga berlaku dalam hal pembagian warisan.
Ia pun menyarankan supaya masyarakat tidak menunda-nunda melakukan balik nama.
Baca: Kisruh Tanah 33 cm di Sragen, Peradi Sebut Tak Perlu Dibawa ke Ranah Hukum: Hanya Gengsi Pribadi
Badrus mengatakan, hal tersebut dapat menghindari terjadinya konflik di kemudian hari.
"Misalnya ada saudaranya dua, yang satu agak besar, satu agak kecil, kalau pas sama-sama baik tidak masalah, kalau nanti misalnya orang tua sudah meninggal, tinggal anak-anaknya, (lalu bertanya) 'kok dulu saya hanya dapat sedikit, kemudian kamu dapat lebar?' itu juga bisa jadi persoalan," kata Badrus.
"Makanya, bagaimanapun kalau nanti sudah dibaliknama atas nama dia, menurut saya sudah tidak jadi persoalan," sambungnya.
Badrus menjelaskan, hak milik yang diakui secara hukum hanyalah sertifikat.
Oleh karena itu, ia kembali menekankan, penting halnya untuk segera melakukan balik nama ketika membeli tanah ataupun yang lainnya.
"Secara hukum, yang diakui sebagai hak milik adalah sertifikat, bukan yang lain."
"Makanya menurut saya, kalau ada sesuatu ya segera dibaliknamakan, disertifikatkan, supaya nanti tidak ada persoalan ke depan," terangnya.
Baca: Cara Licik Guru Spiritual Asal Sragen Jadikan Ibu dan Anak Sebagai Pemuas Nafsu Hingga Peras Korban
Badrus menambahkan, tanah yang bersertifikat pun kadangkala masih dapat dipersoalkan.
Karenanya, ia mengimbau supaya ketika melakukan jual-beli tanah maka harus segera disertifikatkan ataupun dibaliknamakan.
"Lebih baik kalau ada jual-beli ya segera disertifikatkan, balik nama," ujarnya.
Badrus juga menyampaikan, tak masalah apabila pembagian warisan dilakukan dengan pembagian yang tak sama.
Namun, hal itu perlu dituangkan dalam surat pernyataan.
"Kalau misalnya warisan ya segera dibagi sesuai kesepakatan-kesepakatan."
"Tidak apa-apa lebar sana, lebar sini, saudara nggak persoalan, tapi harus dituangkan dalam surat pernyataan sebelum pembagian itu," jelasnya.
Kronologi Kisruh Tanah di Sragen
Dilansir Tribun Solo, dua warga di Sragen, Jawa Tengah terlibat sengketa tanah selebar 33 cm.
Kedua warga tersebut di antaranya yaitu Suparmi (61) dan Suprapto.
Menurut Suparmi, sengketa tanah bermula ketika anaknya sakit.
Namun, ia mengaku lupa tahun persisnya.
Yang jelas, Suparmi mengatakan, sengketa tanah dan tidak akurnya dia dan tetangga sebelahnya itu sudah berlarut selama bertahun-tahun.
"Awalnya anak saya sakit, butuh biaya operasi, sehingga saya menjual tanah itu," katanya saat ditemui TribunSolo.com pada Kamis (16/7/2020).
"Saat disertifikatkan, ternyata sisa luas tanah dan yang ada di sertifikat berbeda," imbuhnya.
Suparmi yang kukuh dengan sisa luas tanah yang ia miliki, lalu membangun sebuah tembok sekira di tahun 2000-an awal.
Masalahnya, tembok yang dia bangun melewati ukuran yang digariskan oleh kelurahan.
"Saya yakin karena saya hafal dan ingat luas tanah saya sebelum saya jual," tegasnya.
Suparmi pun lantas memprotes ketidakadilan itu pada kelurahan sejak 2016.
Ia bahkan meminta pihak kelurahan melakukan pengukuran tanah ulang.
"Saya membayar Rp 400 ribu tapi hasilnya sama, saya masih tidak terima karena saya yakin itu ada sisa lebar 33 cm," terangnya.
Belum ada titik terang
Beberapa perundingan juga telah dilakukan oleh kedua belah pihak pada 2016 tersebut.
"Dulu ada perjanjian dengan kepala desa juga, tapi hasilnya tetap nihil, sisa tanah saya tidak kembali," pungkasnya.
Lantaran tak terima, Suparmi kemudian membawa ke ranah Dinas Agraria Kabupaten Sragen.
Tak hanya itu, ia pun membawa pengacara agar sengka tersebut lekas menemui titik temu.
Akibat masalah ini, kedua tetangga itu menjadi tak lagi bertegur sapa.
Baca: Bayi Berusia Setahun di Sragen Tertular dari Ayahnya yang Seorang Tenaga Kesehatan di Solo
Bahkan, pada akhir 2018, Suprapto sempat merusak tembok pembatas rumah yang dibangun Suparmi di sisa tanah selebar 33 cm itu.
"Dilakukan dua kali, pertama yang depan akhir 2018, kedua yang bulan Maret tahun ini," aku Suparmi.
Suparmi yang tidak terima akan kejadian tersebut lantas melapor ke pihak Polsek Sragen pada 19 Mei 2020.
"Katanya saat ini sudah naik ke Polres Sragen dan mau dibawa ke ranah pengadilan," ungkapnya.
Dalam surat yang tertera, Suprapto dikenakan pasal 406 KUHP dengan pasar pengrusakan.
Lurah Telah Turun Tangan
Dikonfirmasi terpisah, Lurah Wonokerso, Suparno, membenarkan ada peristiwa ini di daerahnya.
Suparno mengaku sudah mendamaikan dua warganya tersebut tetapi hasilnya tetap buntu.
Ia pun menyesalkan warganya yang ngotot menempuh jalur hukum.
"Sebenarnya saya sudah cegah, sebagai lurah tentu saya ada keinginan untuk mendamaikan, karena mereka berselisih sejak lama,"
"Tapi, Ibu Parmi tidak mau memilih jalur kekeluargaan," sesalnya.
"Akhirnya ya saya biarkan, biar diproses kepolisian saja," ujar Suparno.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta, TribunSolo.com/Ilham Oktafian)