Pola Asuh yang Keliru Jadi Penyumbang Kasus Gizi Buruk pada Anak
Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gizi mengakibatkan banyak terjadi mispersepsi dan orangtua yang keliru memberikan asupan gizi
TRIBUNNEWS.COM, PADANG - Kesalahan pola asuh menjadi faktor penyumbang gizi buruk pada anak di beberapa daerah dengan prevalensi stunting yang tinggi.
Ini berkaitan dengan pola pemberian makanan sehari-hari untuk menunjang pertumbuhan balita.
Anak akan mempunyai pertumbuhan yang baik meskipun dalam kondisi ekonomi lemah, jika ibu memberikan pola asuh yang baik dalam pemberian makanan sehari-hari.
Provinsi Sumatera Barat memiliki angka prevalensi stunting yang tinggi yaitu mencapai 30,8%.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, sepanjang 2018, terdapat 6.793 bayi usia di bawah dua tahun (baduta) bergizi buruk, 15.942 baduta bertubuh pendek (stunting), 6.685 bayi berbadan sangat kurus. Tidak saja baduta, kondisi memprihatinkan juga terjadi pada anak di bawah lima tahun (balita).
Sedikitnya, 28.898 anak terdata kurang gizi. Sebanyak 59.641 balita stunting, dan 19.667 orang berbadan sangat kurus. Jika ditotalkan, jumlah baduta dan balita mencapai 137.626 orang. Masing-masing, 35.691 orang kurang gizi. Lalu, 75.583 bayi mengidap stunting dan 26.352 bayi berbadan sangat kurus.
Selain kondisi ekonomi, akar dari ketidakseimbangan gizi ini disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kebutuhan gizi keluarga, jenis makanan hingga pengaturan ragam makanan.
Karena itu saat ini Provinsi Sumatera Barat gencar melakukan pelatihan dan edukasi gizi, baik untuk tenaga kesehatan maupun langsung ke masyarakat umum.
Baca: Saldo Rekening Sumbar Peduli Sesama untuk Perantau Minang di Wamena Rp 6,8 M, Diterima Ahli Waris
Selaras dengan upaya pemerintah provinsi tersebut, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Sumatera Barat menyelenggarakan edukasi Pangan Sehat Bergizi.
Ketua Harian YAICI Arif Hidayat mengatakan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gizi mengakibatkan banyak terjadi mispersepsi dan orangtua yang keliru memberikan asupan gizi untuk anak.
Pengetahuan tentang susu misalnya.
Sebagian masyarakat beranggapan semua susu adalah sama.
Bahkan setiap minuman yang berwarna putih pun diasumsikan sebagai susu yang dapat memenuhi kebutuhan anak.
Untuk itu penting adanya regulasi dan pengawasan pangan oleh pemerintah dalam hal ini adalah BPOM dan juga control sosial serta edukasi dari organisasi juga memegang peran penting.
“BPOM telah mengeluarkan kebijakan tentang label dan iklan susu kental manis dan kami mengapresiasi sikap tegas BPOM tersebut. Selanjutnya, kami juga berharap produsen mau ikut bertanggung jawab meluruskan persepsi salah yang sudah terbentuk di masyarakat, sehingga kedepannya tidak ada lagi masyarakat yang beranggapan susu kental manis adalah minuman bergizi untuk anak," ungkap Arif.
Baca: Inilah Fakta Unik Rendang yang Berasal dari Sumatera Barat hingga Populer di Mancanegara
Upaya untuk meluruskan persepesi yang salah tentang kental manis sebenarmya telah dilakukan BPOM dengan mengeluarkan surat Edaran BPOM tentang Susu Kental Manis pada Juli 2018 yang menekankan bahwa susu kental manis adalah toping dan pencampur pada makanan atau minuman. Akan tetapi penekanan mengenai topping tidak muncul dalam PERBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Berdasarkan temuan YAICI, di sepanjang 2018 terdapat 4 kasus gizi buruk pada anak rentang usia 0 23 bulan yang disebabkan oleh konsumsi susu kental manis sejak bayi di Batam, Kendari dan Sulawesi Selatan.
Satu orang di antaranya meninggal pada usia 10 bulan.
Pada umumnya, orang tua memberikan susu kental manis untuk anak karena beranggapan produk tersebut adalah susu yang dapat memenuhi gizi anak, harga yang relatif murah serta produk diiklankan sebagai susu.
Menindaklanjuti temuan tersebut YAICI bekerjasama dengan Yayasan Peduli Negeri (YPN) Makassar dan Stikes Ibnu Sina batam melakukan survey tentang Persepsi Masyarakat tentang Susu Kental Manis di Batam dan Kendari.
Hasilnya, sebanyak 97% ibu di Kendari dan 78% ibu di Batam memiliki persepsi bahwa susu kental manis adalah susu yang bisa di konsumsi layaknya minuman susu untuk anak.
Arif menjelaskan SKM yang sejak zaman kolonial hingga milenial, diiklankan sebagai minuman susu untuk bayi dan pertumbuhan anak, telah membentuk persepsi masyarakat bahwa SKM adalah susu bernutrisi.
SKM memiliki kandungan gula yang tinggi yaitu 20gram persekali saji/1 gelas dengan nilai protein 1 gram, lebih rendah dari susu lainnya.
Padahal, peruntukan SKM hanyalah sebagai bahan tambahan makanan dan minuman atau topping. Karena itu, perlu pengawasan terhadap promosi dan penggunaan SKM oleh masyarakat.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah mengatur label dan iklan SKM melalui PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, pada pasal pasal 54 dan 67 huruf W dan X.
Pasal 54 memuat kewajiban produsen untuk mencantumkan tulisan pada label bertuliskan Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu, Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan dan Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi.
Sementara pasal 67 butir W memuat larangan berupa pernyataan/visualisasi yang menggambarkan bahwa susu kental dan analognya disajikan sebagai hidangan tunggal berupa minuman susu dan sebagai satu-satunya sumber gizi.
Butir X memuat larangan pernyataan/visualisasi yang semata-mata menampilkan anak di bawah usia 5 (lima) tahun pada susu kental dan analognya.
Hadirnya pasal-pasal yang mengatur tentang susu kental manis tersebut seharusnya menjadi langkah awal perlindungan konsumen dan anak.
Namun, interpretasi tentang pasal tersebut masih bias dan menimbulkan persepsi berbeda.
Seharusnya, dengan dikeluarkannya PerBPOM tersebut sudah tidak ada lagi label, iklan ataupun visualisasi apapun yang menampilkan susu kental manis disajikan di dalam gelas yang mengakibatkan masyarakat beranggapan susu kental manis adalah susu.
"Tapi hingga saat ini, masih terlihat label ataupun iklan menampilkan produk di dalam gelas. Kami berharap ada kejujuran dan ketegasan dari pembuat regulasi tentang peruntukan produk dan cara promosinya," kata Arif.
Sementara itu Wakil Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Noor Rochmah Pratiknya mengatakan perlu ada pengawalan terhadap kesehatan generasi penerus bangsa.
"Tanggung jawab kesehatan masyarakat memang ada di tangan pemerintah. Namun, pekerjaan rumah ini akan lebih efektif dan efisien bila dilakukan oleh seluruh elemen yang ada termasuk keluarga sebagai elemen terkecil dalam sebuah negara," jelas Noor Rochmah.
Artikel ini telah tayang di Tribunpadang.com dengan judul Persepsi yang Salah Tentang Pangan Sehat Membahayakan Masa Depan Anak