Kisah Magis Kori Batu di Pura, Tak Sembarang Orang Bisa Buka, Namun Bocah ini Justru Gampang
Asal-usul Banjar Kori Batu, di Desa Tojan tidak terlepas dari keberadaan pintu batu di Pura Penataran Pande.
TRIBUNNEWS.COM, BALI - Asal-usul Banjar Kori Batu, di Desa Tojan tidak terlepas dari keberadaan pintu batu di Pura Penataran Pande.
Pura Penataran Pande terletak di Banjar Kori Batu, Desa Tojan, Klungkung, tepatnya persis di pinggir jalan raya jurusan Klungkung-Gelgel.
Jika dari jantung Kota Semarapura jaraknya sekitar 3 kilometer arah selatan, persisnya sebelah selatan perempatan menuju Desa Kamasan.
Pura ini berdiri di lahan seluas 7 are. Pura Penataran Pande memiliki 11 pelinggih.
Ornamen semua pelinggihnya masih let (kuno) demikian pula bentuk bangunan.
Tapi ada beberapa pelinggih yang sudah direnovasi, motif ornamennya sudah tersentuh polesan gaya modern.
Namun, ciri khas berupa ukiran Bali tetap tersaput pada pelinggih tersebut.
Pura ini memiliki keunikan tersendiri, yaitu keberadaan kori batu atau daun pintu terbuat dari batu.
Kori batu ini diperkirakan dibuat pada tahun 1422 Masehi, petunjuk itu didapat sesuai candra sangkala (angka tahun) berbentuk kepala, kuda dan tangan yang terdapat pada bagian atas pintu.
Kori batu tersebut memiliki panjang sekitar 2 meter lebih dan lebar satu daun pintu sekitar 40 sentimeter (cm) dipasang di pintu utama pura.
Layaknya pintu Bali, kori batu ini juga terdapat relief berupa lukisan Dewa Brahma dan Dewa Siswa, letaknya pun sesuai pengider-ider (arah mata angin), relief Dewa Brahma berposisi di selatan dan Dewa Wisnu di sisi utara.
Karena keberadaan kori batu itu lantas Pura Penataran Pande dilengkapi dengan sebutan Pura Penataran Pande Kori Batu.
Hal ini diungkapkan Pengelingsir Pengempon Pura Penataran Pande Wayan Togig.
Menurutnya, dalam Purana Raja Sesana Pura Penataran Pande dibangun Mpu Ngurah Lelumbang bersama anaknya Sire Lurah Tusan Kepandean.
“Dalam purana itu disebutkan Mpu Ngurah Lelumbang bersama anaknya Sire Lurah Tusan membangun parahyangan di Jelantik, ditempatkan abungkul (satu pelinggih) di Pura Dasar Bhuwana (Gelgel) agar disungsung oleh keturunan beliau,” ujar Togig, Selasa (5/6/2018).
Dalam purana itu juga disebutkan ditempatkan kori batu (pintu dari batu) dibuat Ki Pande Urip Besi berasal dari Pura Dalem Gandamayu (Gelgel).
“Saya sempat tanyakan simbul itu (candra sangkala) ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3 Bali) katanya tahunnya itu 1422 silam,” kata Togig.
Kori batu tidak saja unik karena fisiknya terbuat dari batu, keunikan lainnya tidak sembarang orang bisa membuka kori batu dimaksud.
Padahal kori batu itu tidak dilengkapi dengan kunci layaknya pintu lumrah terpasang di rumah warga.
“Kalau ada orang manger-manger (mencoba-coba) apalagi bermaksud tidak baik pasti tidak bisa membuka pintu itu,” ungkap Togig.
Cerita Togig, pernah ada rombongan mahasiswa asal salah satu perguruan tinggi di Surabaya bersama dosennya datang ke Pura Penataran Pande Kori Batu.
“Mereka ke sini ingin melihat dari dekat kori batu itu, katanya mereka sempat baca buku soal sejarah kori batu,” ungkap Togig.
Salah seorang dosen ingin mencoba membuka kori batu yang tebalnya sekitar 10 cm itu, namun tidak berhasil.
Mau ditutup juga tidak bisa.
Anehnya ketika ada seorang anak kecil yang masih keluarga Jro Mangku disuruh membuka, dengan mudah pintu itu bisa didorong (dibuka).
Peristiwa yang sama juga dialami enam warga asal Babakan, Desa Angantiga, Karangasem.
Warga ini kepada Togig mengaku trah (keturunan) Pande, lalu mereka masuk ke areal pura.
“Tapi pintunya tidak bisa dibuka, padahal mereka sudah ngaturang banteng pekeling, bergeserpun tidak bisa,” cerita Togig.
Perajin Bokor Nyaris Punah
Masyarakat Banjar Jelantik Kori Batu dulunya terkenal sebagain besar senagau sentra kerajinan bokor (sarana upacara) dan alat upakara lainnya yang terbuat dari besi.
Namun saat ini perajin bokor di Banjar Jelantik Kori Batu nyaris punah.
Saat ini hanya ada tersisa 5 kepala keluarga (KK) perajin bokor di Banjar Jelantik Kori Batu.
Itupun usianya sudah lanjut.
Generasi muda justru telah meninggalkan pekerjaan leluhurnya dan bekerja ke sektor lain.
“Dulu warga sebagai pembuat bokor mendominasi, tapi saat ini hanya lima orang yang tersisa. Generasi muda lebih memilih mencari rezeki lain, sekarang banyak yang memilih bekerja ke kapal pesiar,” kata seorang perajin bokor, Wayan Togig, Selasa (5/6/2018).
Kelian Banjar Jelantik Kori Batu, I Nyoman Mujana mengungkapkan, hingga saat ini kepala keluarga di Banjar Jelantik Kori Batu berjumlah 144 KK, atau sekitar 544 jiwa.
Menurutnya ada tradisi lain yang juga unik di Banjar Jelantik Kori Batu, yakni tradisi Ngarap Watangan atau istilahnya mengarak jenazah.
Tradisi ini sudah dilaksanakan secara turun menurun di Banjar Jelantik Kori Batu.
“Jika biasanya layon anyar (jenazah baru) akan diaben, biasanya didahului dengan tradisi ngawarap watangan ini,” kata Mujana.
Seperti pegabenan atau pemakaman di Bali pada umumnya, tradisi ini diawali dengan pembersihan jenazah (mebersih), lalu kemudian mayat dibungkus dengan kain kafan dan diikat dengan lante (serupa rantai yang terbuat dari mambu).
Ikatan lante ini pun dilakukan dua kali.
Ikatan pertama jumlahnya 47 dan yang kedua jumlahnya 53.
Ini bertujuan agar jenazah tetap terlindungi saat diarak ratusan warga.
Setelah itu, barulah jenazah naik tumpang salu dengan diupacarai pedanda.
“Jadi jenazah akan diarak warga ketika akan naik ke bade. Nanti ratusan warga, khususnya pemuda bak orang kesurupan mengarak jenazah itu di jalan raya. Jenazah diarak sampai krama puas,” jelasnya.
Tradisi ngarap watangan ini bisa berlangsung selama berjam-jam.
Jenazah diarak warga mulai dari di depan rumah duka, hingga ke selatan dan ke utara.
Sebelum akhirnya warga sudah kelelahan dan jenazah dinaikan ke bade atau wadah untuk melanjutkan ritual pengabenan seperti pada umumnya.
“Setelah diarak, jenazah dinaikan ke bade dan dilaksanakan proses pengabenan seperti pada umumnya, hingga abu jenazah dilarung ke laut,” kata dia.
Tradisi ngarap watangan ini memiliki makna kebersamaan dan sebagai wujud penghormatan mendiang. (*)