Benarkah Chat Mesra Sebabkan Tingginya Perceraian? Daerah Ini Membuktikan
Ia menyebutkan, awal ketidakharmonisan dalam rumah tangga bisa berawal dari suami yang kurang menafkahi istrinya.
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Faktor penyebab penceraian di Kota Denpasar, terbanyak adalah karena masalah ekonomi, dan kemudian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta adanya orang ketiga.
Dalam tiga tahun terakhir ini, perceraian akibat adanya orang ketiga ternyata lebih spesifik lagi kasusnya, yakni terkait keberadaan media sosial (medsos), salah-satunya facebook.
Baca: Misteri Ali Penipu Uang Rp 4,5 Miliar Mujiono, Orang Kuat Dari Blitar yang Sulit Dihubungi?
Kepala Panitera Pengadilan Agama (PA) Denpasar, I Gusti Bagus Karyadi mengatakan, pihaknya menemukan beberapa kasus perceraian disebabkan oleh chat mesra yang dilakukan suami lewat medsos.
"Ada juga yang dipicu oleh media sosial. Cuma, dalam sidang hal itu tidak disebut sebagai alasan utama cerai, tapi hanya alasan pelengkap. Penyebab utamanya, misalanya perselingkuhan,” kata Karyadi kepada Tribun Bali pekan lalu.
Ia menyebutkan, awal ketidakharmonisan dalam rumah tangga bisa berawal dari suami yang kurang menafkahi istrinya.
Kemudian suatu kali si istri mendapati di ponsel suaminya ada komunikasi mesra antara si suami dengan wanita lain.
“Istri makin curiga bahwa dia kurang diberi nafkah, karena suaminya sudah memperhatikan perempuan lain. Dari situ kemudian konflik makin berkembang, dan ujungnya minta cerai. Tapi, tidak secara spesifik disebut bahwa medsos sebagai penyebab cerai. Biasanya disebut karena alasan ekonomi,” jelas Karyadi.
Menurut Karyadi, fenomena penyebab penceraian melalui medsos ini sudah mulai terlihat sejak tiga tahun lalu.
Karena teknologi komunikasi dan informasi saat ini sudah canggih, hubungan pertemanan di medsos bisa berkembang menjadi lebih serius dan mengarah pada urusan asmara.
“Misalnya, setelah berkenalan di medsos lantas mengajak bertemu. Ini biasanya kemudian menjadi bibit dari hubungan tak harmonis dengan pasangan. Sejak tahun 2015 mulai ada kasus-kasus gugatan cerai yang terkait medsos. Cuma, dalam sidang tidak disebut bahwa medsos sebagai penyebab utama cerai,” jelas Karyadi.
Tiap Hari Dua Pasangan Cerai
Angka perceraian di ibukota Provinsi Bali, yakni Denpasar, bisa dibilang cukup tinggi.
Berdasarkan data yang dihimpun Tribun Bali dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) dan Pengadilan Agama (PA) Denpasar, rata-rata terdapat dua perceraian dalam sehari di Kota Denpasar dalam tiga tahun terakhir hingga 2017.
Jumlah perceraian yang tercatat secara resmi itu belum mewakili jumlah perceraian yang riil terjadi di lapangan, yang dipastikan lebih tinggi.
“Data jumlah perceraian di Disdukcapil belum bisa merepresentasikan jumlah kasus perceraian secara riil di lapangan. Sebab, belum tentu pasangan bercerai mengurus akta cerai mereka ke sini. Bisa saja cerainya sudah dua tahun lalu secara adat, tapi baru urus administrasinya sekarang. Itu kendalanya mengapa kami sulit dapat data yang riil,” jelas Kepala Bidang Pencatatan Sipil Disdukcapil Kota Denpasar, Pande Made Sri Artatik, kepada Tribun Bali pekan lalu.
Sri Artatik menjelaskan, data perceraian yang dihimpun oleh Disdukcapil adalah data perceraian dari warga non-Muslim.
Sedangkan data perceraian warga Muslim terdapat di Pengadilan Agama (PA), dalam hal ini PA Denpasar.
Berdasarkan data yang diperoleh Tribun Bali dari Disdukcapil dan PA Denpasar, dalam tiga tahun terakhir jumlah total perceraian di Denpasar sebanyak 2.223 kasus atau 741 kasus per tahun.
Jika dirata-rata, terdapat setidaknya 2 perceraian setiap hari dalam tiga tahun belakangan di Denpasar.
Dilihat dari trennya, dalam tiga tahun terakhir jumlah perceraian stabil pada angka tinggi (yakni di atas 300 kasus) dibandingkan angka perceraian pada tahun-tahun sebelum 2014, yang masih di bawah 300 kasus.
Kepala Panitera Pengadilan Agama (PA) Denpasar, I Gusti Bagus Karyadi mengatakan, perceraian merupakan kasus mayoritas yang ditangani PA Denpasar dari sekitar 9 jenis kasus yang menjadi ranah kewenangan PA.
Perceraian yang ditangani PA Denpasar terbagi dalam dua jenis, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak adalah cerai yang dilakukan oleh suami.
Maksudnya, si suami minta ke PA untuk disaksikan bahwa dia menjatuhkan ikrar cerainya kepada istrinya.
“Sedangkan cerai gugat adalah istri mengajukan cerai ke PA, bukan istri menceraikan suami. Si istri minta ke pengadilan untuk diceraikan dari suaminya,” jelas Bagus Karyadi, Kamis (29/3) lalu.
Menurut Sri Artatik, saat ini sudah semakin banyak warga yang mulai sadar administrasi, sehingga tingkat pengurusan akta perceraian juga meningkat.
Akta cerai ini, kata dia, berguna untuk perubahan status perkawinan seseorang, dari yang kawin menjadi cerai hidup.
"Itu mutlak harus ada aktanya bahwa sudah cerai. Kedua, untuk dasar dia kawin lagi. Kalau mau kawin lagi, kan berarti statusnya cerai hidup, sehingga harus ada akta perceraian sebagai bukti," jelas Artatik.
Dalam aturan, lanjut dia, sebetulnya ada ketentuan bahwa pasangan yang bercerai wajib mengurus akta perceraian paling lambat 60 hari setelah penetapan cerai.
Penetapan atau putusan cerai dilakukan oleh hakim di Pengadilan Negeri untuk non-Muslim.
Menurut Sri Artatik, Disdukcapil Denpasar tidak kaku menerapkan aturan 60 hari akta perceraian wajib diurus. Itu demi memudahkan masyarakat mengurus akta cerai mereka.
"Kami menghimbau agar pasangan yang sudah cerai untuk mengurus akta perceraiannya. Kalau sudah lebih dari 60 hari, kami minta untuk melegalisir penetapan perceraiannya ke Pengadilan Negeri, kemudian kami buatkan akta perceraiannya,” jelas Artatik.
Discukcapil tidak mendokumentasikan secara khusus faktor-faktor penyebab perceraian.
Namun demikian, kata Sri Artatik, dari pengamatan atas penerbitan akta perceraian yang didasarkan pada putusan pengadilan, sejauh ini penyebab cerai terbanyak adalah faktor ekonomi.
Kedua adalah faktor kekerasan dalam rumah tangga.
“Ada juga perceraian karena faktor agama. Misalnya, istri masuk agama suaminya saat menikah. Namun, setelah perkaninan berjalan, ternyata si istri kembali ke agamanya semula dan kemudian terjadi perceraian. Ada juga karena faktor perselingkuhan, tapi faktor ini sedikit sekali diungkap," terang Artatik.
Data di Pengadilan Negeri (PA) Denpasar juga mencatat bahwa masalah ekonomi menjadi pemicu terbesar kasus perceraian yang diputuskan lembaga itu.
“Kondisi ekonomi yang tidak stabil di tengah tekanan kebutuhan hidup yang tinggi membuat kondisi rumah tangga kurang harmonis, timbul percekcokan dan berujung pada perceraian,” kata Kepala Panitera PA Denpasar, I Gusti Bagus Karyadi.
Selain karena masalah ekonomi, penyebab perceraian yang lain adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta salah-satu pasangan tersangkut kasus kriminalitas.
“Kasus kriminalitas itu maksudnya, suami terjerat kasus kriminal sehingga dihukum, dan istrinya minta cerai,” kata Karyadi.
Sepengetahuan Karyadi, angka perceraian di Kota Denpasar merupakan yang tertinggi di Provinsi Bali. Kemudian disusul Badung, Jembrana, Buleleng, Karangasem, Gianyar, Klungkung dan paling sedikit adalah Bangli. (Fauzan Al Jundi)