Kisah Guru Sigit, Tolak Jabatan Kepsek Demi Terus Bantu Seberangkan Siswanya
"Sepertinya memang naif ya, ada kesempatan karir tapi saya gak minat hanya demi bisa menyeberangkan siswa. Tapi itulah pilihan hidup saya,"katanya
Editor:
Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, PURBALINGGA - Siapa yang tidak ingin karirnya naik hingga derajatnya di mata manusia meningkat. Beragam fasilitas dan tunjangan jabatan yang menggiurkan pasti akan mengikuti.
Tak ayal, sebagian orang bahkan rela menghalalkan beragam cara untuk mendapatkannya.
Namun prinsip demikian tidak berlaku bagi Dwi Mulyanto Sigit (59), guru Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah 36 tahun mengabdikan dirinya sebagai pengajar di SD N 2 Kedungmenjangan Purbalingga.
Dengan kualifikasi yang dia miliki, bukan hal sulit bagi Sigit untuk memperoleh jabatan tinggi di sekolah maupun kedinasan. Namun ia memilih tetap menjadi guru kelas di sekolahnya hingga pensiun nanti.
Alasannya tidak lazim. Sigit hanya ingin istikamah menyeberangkan siswa-siswanya menuju sekolah. Ia tak ingin amalan yang telah ia jalankan lebih dari 25 tahun itu terputus gara-gara mengejar karir.
Baca: Ternyata Ahok dan Vero Sempat Berbalas Surat Selama Jalannya Persidangan Cerai
Sigit tak pernah menyesali pilihannya. Ia tidak menaruh iri pada teman atau adik angkatannya yang kebanyakan sudah menjadi kepala sekolah, Kepala UPT, hingga Kepala Dinas Pendidikan Purbalingga.
Sementara ia masih guru kelas biasa. Setiap pagi buta, ia setia menjalani rutinitas menyeberangkan siswa, berjibaku dengan lalu lintas kendaraan dan udara yang kotor di jalan raya. Ia seakan tak peduli wibawanya jatuh gegara mengerjakan hal yang biasa dilakukan karyawan rendahan.
Namun begitulah pilihan hidup Sigit. Ia sudah membuang jauh hasrat keduniaannya. Harta dan pangkat tak membutakan hatinya untuk merawat kebaikan.
"Sepertinya memang naif ya, ada kesempatan karir tapi saya gak minat hanya demi bisa menyeberangkan siswa. Tapi itulah pilihan hidup saya,"katanya.
Kesempatan menjadi Kepala Sekolah paling terbuka lebar untuknya. Teman-temannya sudah sering membujuknya agar tak menyiakan peluang itu karena dianggap memenuhi syarat.
Ia sempat mempertimbangkannya. Jabatan itu memang cukup menggiurkan. Namun ia harus siap atas konsekuensinya, pasti kerap berdinas ke luar sekolah, hingga dipindahtugaskan ke sekolah lain jika diangkat nanti.
Dengan kata lain, ia harus meninggalkan sekolah yang puluhan tahun diampunya. Jika demikian, ia tak akan lagi bisa menyeberangkan siswa-siswanya ke sekolah.
Ia tentu tak tenang memikirkan nasib anak-anak yang setiap pagi dan siang selalu menunggu aba-abanya, agar bisa menyeberang dengan selamat.
Sigit akhirnya memilih membuang kesempatan karir itu. Ia meyakinkan istrinya untuk mendukung pilihannya. Sigit meyakinkan, jabatan dunia hanyalah sementara. Lebih mulia amalan kebaikan, meskipun sederhana, akan terbawa sampai mati. Sang istri luluh dan mendukung keikhlasan suaminya itu.