Jumlah Kasus Inses di Bengkulu Naik Tajam, Rata-rata Melibatkan Anak di Bawah Umur
Kasus inses di Provinsi Bengkulu dalam tiga tahun terakhir terus meningkat. Sayangnya, penanganan kasusnya selama ini dinilai belum optimal.
TRIBUNNEWS.COM, BENGKULU - Kasus inses di Provinsi Bengkulu dalam tiga tahun terakhir terus meningkat. Sayangnya, penanganan kasusnya selama ini dinilai belum optimal.
Di tahun 2009 hanya ada dua kasus inses. Jumlah ini meningkat tajam menjadi 13 kasus di tahun 2010.
Dan di tahun 2011, sejauh ini sudah ada 13 kasus yang dilaporkan kepada Women Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan Bengkulu.
Jumlah tersebut, kata Manajer Program WCC Cahaya Perempuan Bengkulu Teti Sumeri, adalah kasus yang didampingi oleh WCC Cahaya Perempuan Bengkulu.
"Kami yakin masih banyak kasus inses yang belum ditangani karena ini merupakan fenomena gunung es," katanya usai Dialog Keprihatinan terkait kampanye 16 Hari Tanpa Kekerasan Terhadap Perempuan, Jumat (25/11/2011).
Teti mengatakan, pada sebagian besar kasus, inses terjadi pada anak berusia 11-15 tahun yang ibunya tidak tinggal di rumah karena harus bekerja.
Misalnya sebagai tenaga kerja wanita di luar negeri. Sehingga sang ayah lebih banyak tinggal di rumah bersama korban.
Kemiskinan sistemik, rendahnya tingkat pendidikan, dan pengetahuan agama yang kurang dapat menjadi penyebab terjadinya inses.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Neng Dara Afianti, mengatakan, kondisi ekonomi keluarga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Anak perempuan yang tinggal serumah kerap menjadi sasaran pelampiasan rasa frustasi ayah kandung/tiri nya.
Meski jumlah kasus inses cenderung meningkat, penanganan hukum kasus nya belum optimal.
Menurut Teti, vonis terhadap pelaku inses di sejumlah pengadilan negeri, tidak pernah lebih dari 10 tahun.
S atu-satunya pengadilan negeri yang dinilai maksimal menangani kasus inses ialah Pengadilan Negeri Curup, Kabupaten Rejang Lebong.
PN Curup pernah memvonis pelaku inses dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Selain penanganan kasusnya secara hukum ya ng belum maksimal, Teti menilai sanksi adat pun tidak cukup tegas menindak pelaku inses.