Cerita Pilu Korban Penggusuran di Kampung Bugis Serangan
Setelah rumahnya tergusur, Harfiah bersama anak-anaknya terpaksa melewati malam hanya beratapkan tenda dari terpal.
"Tidak tahu harus tinggal di mana. Buntu saya sekarang. Nanti ikut berdesakan di masjid saja," kata Nurhayati, warga Kampung Bugis lainnya yang kehilangan rumah.
Sembari terus merenung dan meneteskan air mata, Nurhayati berharap pemerintah baik dari pusat maupun daerah agar segera memberikan solusi tempat tinggal.
"Saya lahir di sini. Jadi tidak ada saudara lagi," katanya.
Ia teringat akan barang-barangnya yang tidak bisa ia selamatkan berupa mesin cuci, dan alat melaut milik suaminya.
"Yang saya pikirin itu anak saya. Nanti gimana dia apa bisa sekolah, baju baju juga ikut tertimbun," tutur ibu tiga anak ini.
Sebagian barang-barang warga tidak bisa diselamatkan, termasuk baju-baju sekolah, dan peralatan sekolah anak-anak.
Mereka mengaku anak-anaknya yang masih sekolah libur sekitar seminggu.
"Nggak bisa sekolah. Saya suruh libur saja dulu seminggu. Orang pakaiannya masih di dalem dan tertimbun," kata Harfiah.
Siti Muria (38) hingga tadi malam juga belum tahu tinggal di mana, karena tidak punya sanak saudara yang tinggal di luar Serangan.
"Nenek saya, bapak saya dan saya lahir di sini. Nenek moyang saya sudah tinggal di sini ratusan tahun," katanya.
Dirinya menyatakan pernah ditawarkan tali kasih sebesar Rp 50 juta oleh keluarga penggugat, namun ditolak.
Siti Muria menyatakan, dirinya tidak ingin uang dan hanya menginginkan disediakan tempat tinggal sementara.
Setelah kehilangan rumah, hampir sebagian warga Kampung Bugis Serangan terlihat masih berwajah pucat dan berpakaian lusuh.
Sejak pagi hingga malam hari, mereka mengaku tidak mandi.
Bahkan, puluhan warga ada yang tidak tidur seharian sebelum eksekusi digelar.