Selasa, 30 September 2025

Perjuangan Panjang Nenek Murip demi Naik Haji, Memulung dan Jadi Tukang Pijat di Negeri Jiran

Meski hidupnya miskin, nenek berusia 61 tahun itu pantang mengendurkan niatnya yang sudah ia pupuk sejak lama.

AFP/FAYEZ NURELDINE
Ratusan ribu jemaah haji melaksanakan shalat Ashar, saat seratusan jamaah yang mengalami cacat tubuh mengelilingi Kakbah melalui jembatan yang dibangun khusus untuk para penyandang cacat di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi, Selasa (8/10/2013). 

Di setiap salat, dan di sepertiga malam, selalu Murip mendaraskan doa agar bisa menunaikan haji sebelum berkalang tanah.

Saban menyetorkan barang rongsokan ke pengepul, Murip rutin membawa satu tundun pisang matang dan air mineral kemasan gelas satu dus untuk ke masjid. Kedatangannya selalu menjadi kabar gembira bagi anak-anak yang tergiur pisang bawaannya.

"Alhamdulillah setelah itu selalu banyak barang (mulung, red) yang saya dapatkan,” Murip mengenang.

Sedikit demi sedikit uang yang terkumpul ia kirimkan ke Ghozali, tetangganya di Lamongan yang membantunya untuk mendaftarkan sebagai jemaah calon haji. Saat itu masih ada dana talangan haji. Ia juga masih menyisihkan kiriman uang anak dan cucunya di rumah.

Suami sudah meninggalkan keempat anak-anak Murip sejak kecil. Selama itulah ia harus menjadi tulang punggung terdepan keluarga seorang diri. Ia terbantu oleh program dana talangan haji. Uang yang sudah terkumpul Rp 20 juta, Ghozali langsung daftarkan atas nama Murip ke BNI pada 18 Januari 2010.

Begitu uang yang dititipkan Ghozali sudah terkumpul, Murip langsung pulang dari Malaysia kebetulan paspornya yang berusia lima tahun sudah habis. Ia mendapat nomor porsi 1300399082 usai terdaftar sebagai peserta haji.

Kembali ke kampungnya di Lamongan ia tetap mencari tambahan agar bisa ke Tanah Suci, dengan memulung dan memijit.

Tak sia-sia ikhtiar dan doanya selama ini. Saat ada pemberitahuan pelunasan dana haji 2016, Murip mampu membayar tambahan Rp 15, 5 juta. Seluruh biaya itu ia usahakan sendiri lewat tenaga dan keringatnya, tanpa perlu berharap pada pemberian orang, apalagi meminta-minta.

Murip sudah terdaftar untuk menunaikan ibadah haji, tapi tak punya rumah.

Kepala Desa Bulubrangsi yang peduli lalu memberikan bantuan bedah rumah, akhirnya Murip menempati tanah GG desa. Listrik rumah pun menumpang dari tetangga.

“Alhamdulillah pak kadesnya baik, rumah saya ini juga dibantu pak kades lewat program bedah rumah. Tanahnya juga milik negara,” tanpa ragu Murip bersyukur atas kebaikan pak kades. Ia serumah dengan cucunya, Nadia.

Perihal Murip segera berangkat haji begitu cepat tersiar. Semua warga Bulubrangsi jadi tahu, tahapan manasik pun sudah Murip laksankaan di salah satu kelompok bimbingan ibadah haji di Lamongan.

Menjelang waktu keberangkatan, Murip masih mengisi hari-harinya memulung dan menjadi tukang pijat. Uang hasil menjual barang rongsokan semisal botol plastik bekas, kardus, kertas dan potongan besi ia pakai untuk kebutuhan sehari–hari dan uang saku cucunya yang duduk di bangku kelas lima madrasah itu.

“Saya tidak malu, yang penting tidak mencuri. Saya percaya kok, kalau saya baik dengan orang, rezeki pasti akan gampang didapatkan,” begitu prinsip hidup Murip yang ia pegang teguh.

Hati Murip sekarang sudah plong, harta wadag memang tak banyak. Keinginannya melihat Kakbah sambil mengucap Labbaik Allah Humma Labbaik, Labbaik Laa Syarika laka Labbaik segera terwujud.

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan