Perjuangan Panjang Nenek Murip demi Naik Haji, Memulung dan Jadi Tukang Pijat di Negeri Jiran
Meski hidupnya miskin, nenek berusia 61 tahun itu pantang mengendurkan niatnya yang sudah ia pupuk sejak lama.
Editor:
Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Surya, Hanif Manshuri
TRIBUNNEWS.COM, LAMONGAN - Sudah lama cita-cita Murip mengenakan pakaian ihram, menjadi tamu Allah untuk menunaikan ibadah haji.
Meski hidupnya miskin, nenek berusia 61 tahun itu pantang mengendurkan niatnya yang sudah ia pupuk sejak lama.
”Aku kepingin haji, nek mati dosaku cik disepuro karo gusti Allah (aku mau naik haji, kelak mati dosaku Allah maafkan),” Murip menceritakan keinginannya saat ditemui wartawan Surya, Hanif Manshuri, di rumahnya, Kamis (28/7/2106).
Seperti kebanyakan tetangga desanya di Bulubrangsi, Solokuro, mulai berkecukupan sekian tahun usai memburu ringgit ke Malaysia.
Begitulah Marip melanglang ke negeri jiran, mencari pengharapan sebagai modal untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Bersama para lelaki asal desanya, sekira 2005 ia berangkat ke Malaysia. Nasib mereka sama: warga miskin. Urusan paspor Murip percayakan kepada tetangganya yang sama–sama mengadu untung ke Malaysia.
Tanpa modal pendidikan dan kemampuan, mau apa Murip di Malaysia apalagi usia sudah menua? Sederhana saja, memulung dan menjadi tukang pijat selama di kampung halamannya di Lamongan, begitulah yang Murip andalkan di Malaysia.
Berbilang hari, bulan dan tahun, Murip selalu berusaha sesuai kebiasaannya secara tekun.
Idamannya melihat Kakbah menjadi penguat Murip mencari botol bekas dan barang apapun yang bisa didaur ulang dan dijual, asalkan halal.
Di atas semua ikhtiar itu, tak pernah Murip menanggalkan salat sunah, apalagi yang wajib. Ia tak peduli orang memandangnya hina. Selagi badan dan tenaganya masih bisa untuk berkerja, apapun ia lakukan siang malam.
“Aku di Malaysia ya tetap jadi pemulung. Aku tidak bisa kerja apa selain itu. Aku juga menjadi tukang pijat kepada siapa pun yang memintanya bantuan,” cerita Murip.
Praktis ketika buruh migran asal Indonesia, apalagi tak berdokumen, selalu dipandang miris oleh Polis Diraja Malaysia, tak demikian Murip. Keluguan dan kejujuran Murip membuatnya selalu mendapat perlakuan baik.
“Katanya pak kiai, uang untuk berangkat haji itu harus benar–benar halal. Jadi saya juga tidak mau sampai meminta–minta,” kata Murip.
Semua yang diperbuatnya Murip percaya berkat sikap jujur dan juga selalu ingat kepada Allah dan menjalankan semua perintahnya.