Kamis, 2 Oktober 2025

Merayakan Perbedaan

Fenomena Orang Katolik Pakai Nama Muslim di NTT

"Apalah arti sebuah nama", adagium sastrawan legendaris asal Inggris William Shakespears tersebut, tampak nyata di kehidupan warga Nusa Tenggara Timur

Laporan Tim Liputan Khusus Pos Kupang

TRIBUNNEWS.COM, BORONG - "Apalah arti sebuah nama", adagium sastrawan legendaris asal Inggris William Shakespears tersebut, tampak nyata di kehidupan warga Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bagi warga NTT di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, nama-nama tak lagi memiliki makna khusus.

Bahkan, banyak orangtua memberikan nama kepada anak mereka tanpa lagi terkungkung oleh batasan-batasan pakem tak tertulis, semisal agama.

Warga di ketiga kabupaten tersebut yang mayoritas Katolik, tak lagi hanya mematrikan nama santu atau santa seperti Maria, Mathius, Yohanes, Magdalena, Petrus, Yakobus, dan lainnya.

Mereka juga memadukan nama-nama orang suci tersebut dengan nama yang lazim di kalangan muslim, semisal Muhammad, Ali, Yusuf, Fathimah, atau Siti.

Pemberian nama ini sudah terjadi sejak dahulu kala. Ini dipengaruhi faktor lingkungan yang majemuk, atau kehidupan masyarakat Muslim dan Kristen yang berdampingan sejak dahulu kala.

Belum lagi faktor kawin campur antara orang Katolik dengan Muslim, sehingga menimbulkan nama-nama campuran yang diberikan kepada anak dan keturunannya.

Hingga kekinian, nama campuran yang diambil dari nama Katolik dan Muslim tetap ada dan digunakan oleh masyarakat Manggarai.

Tidak menembus batas tradisi keagamaan, banyak orangtua juga memberikan nama anak memakai kosakata Jawa atau nama tokoh nasional, artis, penyanyi, pahlawan, olahragawan dan sebagainya.

"Saya dan juga banyak warga lain berasal dari keluarga yang menjalani kehidupan di daerah pantai, di mana di daerah itu hidup masyarakat majemuk orang beragama Katolik dan Muslim. Kami hidup bersaudara, sehingga persoalan nama tak lagi dipersoalkan," tuturnya, Selasa (28/7/2015).

Tetap Dipertahankan

Seperti dirinya, sang ibu memberikan nama Supratman karena menyukai nama pencipta lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf (WR) Supratman.

Agus menuturkan, saat masih kecil ia sempat protes kepada orangtuanya kenapa namanya menggunakan nama Supratman seperti orang Muslim.

"Saya protes kepada bapak dan mama. Mengapa saya orang Katolik, diberi nama campur Jawa dan Muslim. Saya minta mama dan bapak mengubah nama saya. Kata mama, bisa saja, tetapi untuk permandian ulang tidak bisa dilakukan karena peraturan agama Katolik hanya sekali permandian dalam hidup seseorang (yang beriman Katolik)", jelas Agus.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved