Dijual di Salon dan Toko Kelontong, Penjualan Buku Paket di Bandung Marak
Penjualan buku-buku paket diantaranya terjadi kepada murid-murid di SDN Sejahtera 4, Kota Bandung.
TRIBUNNEWS.COM – Kendati dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 2008 disebutkan bahwa pihak sekolah dilarang menjual buku paket dan lembar kerja siswa (LKS), namun masih banyak penjualan buku tersebut yang dilakukan di toko kelontong di samping sekolah yang ditunjuk khusus, bahkan ada yang dijual di sebuah salon tak jauh dari sekolah. Para murid dan orang tuanya pun diarahkan membeli ke tempat tersebut.
Penjualan buku-buku paket diantaranya terjadi kepada murid-murid di SDN Sejahtera 4, Kota Bandung. Menurut salah seorang orang tua murid, penjualan buku-buku tersebut dikoordinir oleh komite kelas. Mereka mengirimkan pesan singkat (SMS) kepada orangtua siswa terkait buku-buku tersebut.
"Memang, tidak ada paksaan. Namun, para orang tua tetap menjadi terpaksa membeli buku itu karena tugas-tugas sekolah anak bersumber dari buku buku paket berbonus LKS yang dijual di tempat yang disebutkan oleh ketua komite kelas," ujarnya, akhir pekan lalu.
Ia mengatakan, tempat penjualan buku yang disebutkan komite kelas sendiri bukanlah toko buku, melainkan salon yang beralamat di Jalan Tentram No 15, dekat SDN Sejahtera. Untuk delapan buah buku paket dengan bonus enam buah LKS plus buku ulangan, orang tua harus mengeluarkan Rp 371 ribu. Menurutnya, selain buku-buku paket bonus LKS dan buku ulangan itu, mereka juga diminta membeli buku karawitan Rp 23 ribu, dan suling Rp 17.500.
"Bukankah untuk buku-buku paket itu seharusnya sudah harus ada dari dana BOS? Kenapa harus membeli juga? Modus-modus seperti ini seharusnya segera dihentikan. Dinas Pendidikan harus menyikapi ini dan bertindak tegas," ujarnya.
Beberapa orang tua yang datang bersama anaknya yang masih berseragam SD tampak mengantre untuk membeli buku paket di salon tersebut. Mereka mengaku mendapat informasi dari SMS dan dari mulut ke mulut bahwa salon tersebut menjual buku paket yang dibutuhkan anaknya.
"Iya betul mau beli buku paket. Tapi saya juga baru tahu dari orangtua murid lain kalau bukunya juga tersedia di salon ini," kata salah seorang orangtua yang masih mengantre untuk beli buku paket.
Menurut orang tua yang enggan menyebut namanya, mengatakan bahwa untuk murid kelas 2 satu paket buku mata pelajaran ia harus mengeluarkan Rp 389 ribu, dan untuk kelas 4 mencapai Rp 400 ribuan. "Bagi saya yang pas-pasan harga segitu itu cukup memberatkan," kata dia.
"Saya heran kenapa sekolah cuci tangan. Setiap saya konfirmasi masalah buku itu baik kepada wali kelas atau kepala sekolah, dua-duanya cuci tangan tidak mau disalahkan dengan berdalih tidak tahu. Tapi di kelas anak-anak begitu ditekan untuk membeli buku tersebut," ujar orangtua murid lainnya yang enggan disebut namanya karena khawatir berdampak pada anaknya yang bersekolah di sana.
Lilis (49) pemilik Salon & Bridal Alma di Jalan Tentram No 15 mengakui menjual buku paket mata pelajaran SD dari kelas 1 hingga 6 untuk murid SDN Sejahtera. Hal itu dilakukannya karena mendapat tawaran kerjasama dari pihak penerbit yang buku-bukunya digunakan di SD tersebut.
"Ya ini masih merintis. Saya baru jualan buku sekarang ini. Ini juga karena mendapat tawaran dari penerbit. Karena saya akan mendapat keuntungan, tentu saya juga tertarik. Dan kebutuhan buku paket pelajaran di sekolah itu kan selalu terjadi setiap semester," kata Lilis, Jumat (30/8/2013) sore.
Menurut Lilis, ia sengaja hanya buku-buku kebutuhan murid SDN Sejahtera. Karena kemampuan modal dan kerjasama yang ditawarkan pihak penerbit hanya sebatas itu. Buku-buku yan dijualnya itu hanya berasal dari tiga penerbit.
"Kami sih tidak memaksa semua murid untuk beli dalam sistem paket. Jadi belinya ada yang hanya beberapa. Memang kalau yang beli satu paket, sesuai promosi penerbit, kami memberikan bonus LKS. Kalau harga memang beragam. Lembaran ulangan harian kami jual Rp 20 ribu dan ada Rp 29 ribu," kata Lilis.
Penjualan buku paket atau LKS itu juga terjadi di SDN 4 Sarijadi, Kota Bandung. Menurut salah satu orang tua siswa, meskipun tidak diwajibkan, namun pembelian LKS tersebut memberatkannya karena ia harus mengeluarkan Rp 85 ribu untuk LKs beberapa pelajaran. "Memang tidak diwajibkan. Tapi namanya anak-anak, kalau lihat temannya punya, pasti pengen. Sampai nangis-nangis," katanya.
Seorang murid SDN Sarijadi 4 itu mengaku, pembelian LKS tidak diwajibkan, tapi guru mereka kerap memberikan tugas atau soal-soal pekerjaan rumah dari buku LKS tersebut. Mau tidak mau, murid harus memiliki buku LKS tersebut.
Pembelian LKS tersebut, kata dia, bukanlah di toko buku atau koperasi sekolah, melainkan melalui salah satu orang tua murid. "Belinya bisa langsung ke mamahnya V, tapi bisa juga langsung ke bu guru (sambil menyebut nama seorang guru)," katanya yang sudah membeli LKS sejumlah mata pelajaran.
Praktik serupa juga terjadi di Ciwidey, Kabupaten Bandung. Padahal pihak sekolah sebenarnya dilarang menjual buku paket kepada siswa karena sudah dibiayai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Seorang orang tua murid di SDN di Ciwidey mengatakan, praktik jual beli buku ini berulang setiap tahun. Bahkan setiap pergantian semester, siswa dituntut membeli buku. Modus penjualan buku pun tidak langsung dilakukan pihak sekolah, melainkan menyuruh siswa membeli buku ke tempat yang telah ditentukan.
"Memang di sekolah enggak jual buku. Tapi guru nyuruh untuk membeli buku di samping sekolah. Tempat yang ditunjuk itu di warung kelontongan samping sekolah. Sepertinya rekanan pihak sekolah atau gurunya. Masa beli buku, tapi sudah ditentukan tempatnya," ujarnya.
Tiga buku paket dianjurkan wali kelas anaknya untuk dibeli dari total 10 buku paket. Harga setiap buku bervariasi. Harga buku paket Rp 25.000 hingga Rp 30.500 per buku. Buku yang dianjurkan untuk dibeli yaitu buku pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan IPA.
"Saya enggak ngerti dana BOS itu digunakan untuk apa. Padahal kan setiap tahun sekolah itu dapat dana dari pemerintah. Ini kok malah memberatkan orangtua. Tidak semua orangtua mampu untuk membeli buku kan. Ini seperti ada indikasi gurunya pengin punya pemasukan tambahan," katanya.
Selain pembelian buku paket, lanjut dia, pihak sekolah juga meminta kepada para murid untuk membeli LKS. Alasannya, buku LKS ini untuk menunjang para siswa agar bisa melatih kemampuan belajarnya. Anaknya pun membeli empat buku LKS dari warung kelontongan yang sama. Harga yang paling murah Rp 10.000.
Berdasarkan penelusuran Tribun Jabar (Tribunnews.com Network), warung yang menjual buku tersebut tidak jauh dari SD Negeri tersebut. Warung kelontongan tersebut tidak nampak menjual buku pelajaran. Orangtua yang akan membeli buku tidak akan mengetahui jika di warung tersebut menjual buku pelajaran. Pemilik warung akan menawarkan buku tersebut setelah ada orang yang menanyakan. Buku paket dan LKS tidak disimpan di pelataran warung.
Di Garut, sejumlah orang tua siswa mengeluhkan harga buku paket dan LKS yang dijual sekolah dengan harga yang dianggap tinggi. Akhirnya, mereka pun terpaksa membeli buku tersebut supaya anaknya tidak mendapat diskriminasi atau ketinggalan pelajaran di sekolah.
Seorang warga Desa Tarogong, Kecamatan Tarogongkidul, Yati, bukan nama sebenarnya, mengatakan, anaknya harus membeli buku paket seluruh pelajaran di sekolahnya seharga Rp 450 ribu. Putri Yati ini sekolah di kelas III sebuah SD favorit di Kecamatan Tarogongkidul.
"Saya cari buku-buku yang sama di toko, ternyata harganya lebih murah. Kalau di toko, harganya didiskon sampai 25 persen, tetapi yang di sekolah tidak didiskon. Makanya saya beli di toko saja, mengirit sampai Rp 100 ribuan," kata Yati, Selasa (27/8/2013).
Hal serupa dialami Arya, warga Desa Margamulya, Kecamatan Cikajang. Arya harus membeli LKS dari sekolah untuk anaknya yang sekolah di salah satu SMP di Kecamatan Cikajang. Walaupun berharga sekitar Rp 10 ribu per LKS-nya, dia tetap keberatan.
"Untungnya sekolah tidak menjual buku paket karena dilarang dan tidak disetujui orang tua siswa. Tapi kenapa LKS masih bisa dijual. Padahal kan ada dana BOS untuk buku. Percuma kalau buku-buku bantuan tersebut hanya untuk pajangan perpustakaan," kata Arya. (aa/ddh/tif/sam/pin)