Wali Kota Medan Dituntut 4 Tahun Penjara
Wali Kota Medan Nonaktif Rahudman Harahap terkejut mendengar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dwi Aries
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Wali Kota Medan Nonaktif Rahudman Harahap terkejut mendengar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dwi Aries Sudarto menuntutnya empat tahun penjara dan membayar denda Rp 500 juta, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (18/7/2013).
Rahudman yang semula tenang dan fokus mendengar sejak awal persidangan, langsung menoleh ke jajaran kuasa hukumnya setelah mendengar tuntutan tersebut. Setelah itu ganti melihat ke arah hakim serta jaksa.
Tim JPU menyebut terdakwa telah melanggar 10 peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan dana Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintahan Desa di Pemkab Tapanuli Selatan 2005, yang merugikan negara Rp 2,071 miliar.
Rahudman dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU No 20/2001 Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.
"Menuntut empat tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider enam bulan dengan perintah supaya terdakwa ditahan," kata Dwi, yang membacakan bagian pamungkas berkas tuntutan setebal 200 halaman itu.
Selain itu, JPU Dwi menuntut terdakwa membayar Uang Pengganti Rp 489.895.500 dari total kerugian negara Rp 2,071 miliar. Sisanya Rp 1,59 miliar sudah dikembalikan terdakwa mantan Pemegang Kas Sekda Amrin Tambunan saat disidang di PN Sidimpuan. Belakangan Amrin mengaku uang tersebut didapat pengacara dari pemberian orang tak dikenal bernama David.
Tuntutan hukuman untuk Rahudman ini lebih ringan enam bulan dari tuntutan JPU Kejari Sidimpuan terhadap terdakwa Amrin yakni 4,5 tahun penjara dan membayar denda Rp 300 juta. Majelis hakim PN Sidimpuan yang terdiri dari Efiyanto SH, Lodewyk I Simanjuntak SH, dan Tri S Saragih SH akhirnya menvonis Amrin tiga tahun penjara. Di tingkat banding, majelis hakim PT Sumut yakni Saut H Pasaribu, H Kresna Menon, dan H Moch Djoko mengurangi hukuman Amrin menjadi 2 tahun.
Namun oleh majelis hakim agung yang terdiri dari Timur Manurung, Krisna Harahap, dan Mohammad Askin memperberat hukuman Amrin jadi empat tahun penjara, serta membayar denda Rp 300 juta atau subsider enam bulan kurungan.
Rahudman langsung ke luar ruangan diiringi dua anak dan beberapa pejabat Pemko Medan yang merupakan loyalisnya usai hakim mengetuk palu tanda berakhirnya sidang pembacaan tuntutan. Kepada para wartawan yang langsung mengadangnya Rahudman mengaku tidak punya komentar atas tuntutan jaksa. Hanya akan mengikuti dinamika persidangan.
"Saya tidak ada pledoi. Langsung saja ke pengacara saya," katanya sambil berlalu ke luar ruangan sidang.
Di persidangan, jaksa kembali menyebutkan beberapa perbuatan Rahudman yang menyimpang seperti mengajukan permintaan dana jauh sebelum APBD Tapsel 2005 disahkan pada 25 Mei 2005.
Permintaan pertama adalah untuk dana TPAPD triwulan I sebesar Rp 1.035.720.000. Pengungkapan fakta ini pada sidang sebelumnya tentang permintaan pertama ini sempat menggelitik pengunjung sidang karena mulai dari pengajuan surat permintaan penerbitan Surat Keputusan Otoriasasi (SKO) yang ia dan Amrin Tambunan tandatangani sampai pencairannya dilakukan secara kilat, 5 Januari-6 Januari. Padahal saksi yang dihadirkan mengakui proses normal mencapai seminggu atau bahkan bulanan.
Permintaan kedua tanggal 13 April 2005 sebesar Rp 3.352.033.050, termasuk di dalamnya dana TPAPD Triwulan II sebesar Rp 1.035.720.00 kembali dilakukan oleh Rahudman dan anak buahnya Amrin yang saat ini mendekam di Rutan Tanjung Gusta. Pencairannya dilakukan pada 4 Mei 2005.
"Permintaan dana tersebut tidak didasarkan pada adanya permohonan dari Bagian pemerintahan Desa selaku yang membidangi penyaluran TPAPD. Surat Permintaan Pembayaran (SPP) yang diajukan terdakwa tersebut tanpa terlebih dahulu adanya SKO Bupati," kata jaksa.
Setelah cair pun ternyata dana tunjangan itu berhenti di tangan pimpinan dan tidak sampai ke para kepala desa dan stafnya. Belakangan, Amrin mengakui uang yang tidak disalurkan itu diberikan kepada Bupati, Wakil Bupati, dan Sekda Rahudman Harahap.