Senin, 6 Oktober 2025

Awas! Ancaman di Jam Sibuk Juanda

Keselamatan penerbangan di Bandara Juanda, Surabaya, bisa jadi masalah karena terjadi overload beban

Editor: Hendra Gunawan
zoom-inlihat foto Awas! Ancaman di Jam Sibuk Juanda
Net
Menara ATC

TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Keselamatan penerbangan di Bandara Juanda, Surabaya, bisa jadi masalah karena terjadi overload beban kerja petugas pengatur lalu lintas udara. Betapa tidak, seorang petugas pemandu lalu lintas udara yang normalnya menangani 15-22 pesawat per jam, pada golden time (jam sibuk), harus mengatur 30 lebih pesawat per jam.

Kendati memikul tugas berat, para pengatur lalu lintas udara (air traffic controller/ATC) mengaku mampu mengatasinya. “Sangat berat memang, tapi petugas ATC sudah terlatih memandu pesawat dalam kondisi seperti ini. Jadi seperti dokter mengobati pasiennya, asal sesuai prosedur semua akan berjalan aman,” ujar Hamsan, Air Traffic Service Section Head Juanda beberapa hari lalu.

Menurut informasi yang didapat Surya, kapasitas maksimal landasan pacu bandara Juanda adalah 21 sampai 22 pesawat take off/landing per jam. Fakta yang terjadi saat ini, setiap jam ATC seringkali menghandle di atas 30 pesawat per jam. Itu biasanya terjadi pada saat golden time. Yakni antara pukul 06.00-08.00 pagi hari dan pukul 17.00 hingga 19.00 sore hari.

Padahal, untuk memandu satu pesawat saja, setiap ATC harus melaksanakan banyak prosedur, termasuk melakukan penghitungan dan estimasi waktu dengan sempurna. Saat ini, menurut informasi yang didapat Surya, jumlah seluruh ATC aktif di Bandara Juanda adalah 53 orang, plus 10 orang yang tidak aktif.

Sayangnya beban berat para ATC tidak diimbangi dengan tingkat kesejahteraan mereka. Masih banyak ATC mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR). Ruby Nugraha, seorang ATC senior yang pernah bekerja di beberapa bandara domestik, mengaku prihatin atas kenyataan ini. Menurutnya, seorang ATC tingkat pekerjaannya selevel pilot namun bergaji di bawah buruh.

“Ini memang ironis, Indonesia sebagai satu di antara negara yang tingkat perkembangan industri penerbangan tertinggi di dunia, ternyata menggaji di bawah UMR ujung tombak keselamatan dan keamanan udara,” kata Ruby dalam wawancara dengan wartawan Surya melalui surat elektronik, belum lama ini.

Ruby saat ini menjabat sebagai seorang supervisor ATC di Bandara Internasional Juanda Surabaya. Menurutnya status petugas ATC di Indonesia dibagi menjadi dua. ATC di bawah Kementerian Perhubungan berstatus PNS (pegawai negeri sipil), sedangkan ATC di bawah PT Angkasa Pura berstatus pegawai BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

ATC berstatus PNS yang umumnya bergaji minim. “Saya sendiri pernah mengalami ketika baru masuk menjadi ATC,” kata Ruby. Pertama kali bekerja sebagai ATC, masuk golongan II, gaji sekitar Rp 1,6 juta.

Gaji Rp 1,6 juta tentu saja di bawah UMR Surabaya yang tahun ini telah ditetapkan Rp 1,7 juta. Sedang pendapatan ATC yang berstatus karyawan BUMN masih lebih baik. Selain paket gaji, masih mendapatkan tunjangan licence dan rating (tunjangan tanda kecakapan), uang makan dan lembur.

Kalau dijumlah sekitar Rp 1,5 juta. Sedangkan ATC non- BUMN tanpa ada tambahan pendapatan lain. Informasi yang diterima Surya, seorang ATC Angkasa Pura, bergaji Rp 6 juta – Rp 8 juta setiap bulannya.

Sekalipun gaji para ATC Angkasa Pura lebih baik, jumlah ini masih jauh di bawah negara lain di Asia Tenggara. Data dari organisasi Profesi ATC (IATCA) menyebutkan, gaji terendah ATC Indonesia Rp 1,6 juta dan tertinggi Rp 8 juta. Ini artinya hanya sebesar 5 persen – 25 persen dari gaji ATC Thailand yang tingkat ekonominya relatif sama, tetapi beban kerja dan resiko yang jauh di bawah ATC Indonesia.

Padahal, sesuai konvensi Organisasi Perburuhan PBB ( ILO ), dalam ISCO-88 dan ISCO 08 (International Standard Classification of Occupations), menyatakan: Remunerasi ATC harus disesuaikan dengan keunikan profesi ATC sesuai dengan tanggung jawabnya, serta harus mencerminkan status pekerjaan mereka, dan memiliki katagori yang sama dengan pilot dan awak kapal (nakhoda beserta jajarannya). Dari data tahun 2011 lalu, sebagai gambaran, gaji seorang pilot Garuda Indonesia Rp 71 juta per bulan.

Tidak Boleh Salah

Seorang ATC bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan segenap nyawa dari sebuah penerbangan. “Di pekerjaan lain, kesalahan dalam bekerja mungkin bisa ditoleransi dan diperbaiki. Kalau ATC, tidak boleh ada kata salah sedikitpun. Kalau salah ya pesawat bakal kecelakaan. Seperti itu penggambaran beban kerjanya,” ujar Antariksa Wisnu Widodo, Air Traffic Service Officer di Bandara Juanda, Surabaya.

Ruby Nugraha menambahkan, seorang ATC dituntut bekerja dengan kondisi fisik maupun mental yang sempurna. “Kalau seorang ATC lagi lesu misalnya, apa yang dia ucapkan kepada pilot bisa beda dengan apa yang ada di pikirannya. Maunya bilang left (kiri), malah bilang right (kanan). Kejadian Garuda di Sibolga (Tragedi Penerbangan 152 pada 1997, Red), salah satunya ya seperti itu,” kata Ruby.

Karena membutuhkan konsentrasi dengan tingkat ekstrem, seorang ATC bekerja dengan durasi kerja yang lebih singkat dari profesi lain. Di Juanda misalnya, pola kerja ATC terbagi dalam tiga shift. Shift pertama bekerja pukul 07.00 – 13.00 WIB, lalu 13.00 – 19.00 WIB, dan 19.00 – 07.00 WIB (shift malam lebih panjang karena sepinya lalu lintas udara).

Dalam satu shift, ada lima ATC yang ditempatkan di menara pandang, atau aerodome control tower. Kelima ATC ini bekerja bergantian. Satu ATC yang didampingi oleh ATC lain yang bertindak sebagai asisten (planner) bekerja selama satu jam. Setelah satu jam, kedua petugas ini mendapat jatah istirahat selama 45 menit, sementara dua petugas lain menggantikannya. Itu artinya, rata-rata ATC Juanda (kecuali shift malam), punya waktu kerja efektif selama tiga atau empat jam setiap harinya.

Namun, di beberapa bandara dengan lalu lintas padat seperti Juanda, bekerja tiga jam sehari, sudah cukup berat bagi seorang ATC. Itu akibat kepadatan lalu lintas udara yang tinggi di bandara Juanda.

Sebagai catatan, jumlah penumpang pesawat terbang di Indonesia naik 17 persen setiap tahun sehingga jumlah pesawat di semua bandara, termasuk Juanda, juga meningkat.

Berdasar data 2010, rute penerbangan Jakarta-Surabaya merupakan rute terpadat kelima di dunia (780 penerbangan/minggu) setelah rute Congonhas-Sao Paulo (Brasil), Melbourne-Sidney (Australia), Jeju-Seoul (Korea Selatan), dan Mumbai-New Delhi (India).

Data ini sekaligus menunjukkan bahwa rute Jakarta-Surabaya adalah rute terpadat keempat di Asia Pasifik dan terpadat di ASEAN. Rute penerbangan tersebut akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Berbagai tantangan para ATC itu belum termasuk bila mimpi buruk bernama radar mati, tiba-tiba datang seperti terjadi pada Bandara Soekarno-Hatta beberapa waktu lalu. Dalam kondisi darurat ini, seorang ATC mutlak hafal di luar kepala, setiap posisi penerbangan terakhir yang ada di radar. Jadi, mereka mesti menuntun pesawat dengan radar imajiner, alias radar yang mereka bayangkan dalam pikiran sendiri.

General Manager PT Angkasa Pura I Juanda, Trikora Harjo, mengakui bila aktivitas penerbangan di bandara Juanda sangat padat. Ia membenarkan informasi bahwa rute penerbangan Surabaya – Jakarta, merupakan salah satu yang terpadat di dunia.

Meski demikian, Trikora menjamin bahwa semua masih dalam kendali dan batas wajar. Ia memastikan keberadaan personel ATC di Juanda masih bisa mengatasi padatnya rute penerbangan. “Kita (Juanda) memang sudah padat, tapi masih bisa kita kendalikan dengan baik,” ujar Trikora.

Lebih detil terkait ATC dan kesejahteraan personelnya, pihak bandara Juanda enggan memberikan keterangan. Mereka menyebut itu adalah kewenangan pejabat di pusat.

Kurang 1.500

Sebelumnya Menteri Perhubungan EE Mangindaan mengakui Indonesia kekurangan pegawai navigasi penerbangan, termasuk di bandara Juanda.

"Saat ini jumlah pegawai ATC hanya 1.000 petugas. Kami masih butuh 800 orang lagi," kata Mangindaan di acara pengangkatan direksi Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau Perum Navigasi bulan lalu.

Kondisi ini dibenarkan oleh Ichwanul Idrus, Direktur Utama Perum Navigasi. Bahkan hasil hitungan dari Ichwanul, kekurangan tenaga navigasi di Indonesia mencapai 1.500 orang atau lebih banyak dari proyeksi Menteri Perhubungan.

"Catatan saya saat jadi Direktur Navigasi, pada Maret 2012 lalu, kebutuhan petugas ATC sebanyak 555 orang, petugas komunikasi penerbangan kurang 435 orang, petugas penerangan aeronautika kurang 250 orang, dan teknisi radio radar masih butuh 400 orang," papar Ichwanul.

Meski begitu, Ichwanul belum bisa menghitung berapa jumlah pegawai yang akan bekerja di Perum LPPNPI nantinya. "Belum kami hitung," jelas Ichwanul.(Surya/ab/idl/ono)

Baca juga;


Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved