TL Terjangkit Flu Burung?
TL (8), warga Cipagalo, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, meninggal dunia dengan kondisi
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - TL (8), warga Cipagalo, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, meninggal dunia dengan kondisi yang mirip terjangkit virus H5N1 (flu burung). Sesaat sebelum meninggal dunia di RSHS, Sabtu (6/10/2012), badan TL mengalami demam tinggi di atas normal disertai sesak napas.
Ayah TL, Entis Sutisna (40), mengatakan, kondisi demam yang dialami anak ketiganya itu diawali pada Jumat (29/9/2012), sepekan sebelumnya. Saat itu, secara tiba-tiba TL mengalami demam. Entis dan istrinya, Yani Maryani (38), menduga panas tubuh yang dialami anaknya hanyalah panas biasa sehingga saat itu dia hanya memberikan obat warung biasa. "Dan memang kondisi panasnya sempat turun," kata Entis saat ditemui Tribun di rumahnya, Senin (8/10/2012) sore.
Beberapa hari kemudian, kata Entis, tubuh anaknya kembali mengalami demam. Keluarganya kemudian sempat membawa anaknya ke dokter terdekat untuk diperiksa. "Namun dokter umum itu pun menyerah dan merujuk anak kami ke RSHS," katanya.
Sabtu (6/10/2012), Entis membawa anaknya ke UGD RSHS sekitar pukul 09.00. Saat itu TL masih sempat diperiksa oleh dokter UGD. Namun dengan kondisi TL yang mengalami demam tinggi disertai sesak napas, dokter mengambil sampel darah TL untuk diperiksa di laboratorium. "Saat itu dokter di sana pun menduga anak kami mengidap flu burung. Ya, baru menduga saja karena kondisinya yang seperti itu," ujar Entis.
Tidak hanya itu, sesaat setelah TL diambil sampel darahnya, pihak RSHS pun memberikan surat rekomendasi yang harus ditandatangani keluarga karena adanya rencana memasukkan TL ke ruang khusus. "Kami tidak mengerti ruangan apa itu. Katanya sih ruang PICU. Pokoknya kami harus menandatangani persetujuan bahwa anak kami dipindahkan ke ruangan itu," ujarnya.
Sayangnya, kata Entis, belum juga TL dipindahkan ke ruangan itu, TL sudah terlebih dulu meninggal dunia dengan kondisi masih di ruang UGD.
Entis mengakui sempat ditanya mengenai riwayat hewan peliharaan di rumahnya. Menurut Entis, memang ia sempat memelihara beberapa ekor ayam. Namun dari semua ayam piaraannya, tidak ada satu pun yang menunjukkan gejala sakit, terlebih mati. "Hanya beberapa ekor ayam. Itu pun nggak ada yang sakit," ujarnya.
Entis dan Yani mengaku sama-sama tidak mengerti dengan kondisi yang dialami anaknya hingga meninggal dunia dalam kondisi demam tinggi dan sesak napas mirip gejala flu burung. Menurut Entis, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung menyangkal bahwa anaknya meninggal karena flu burung.
"Ya, dari Dinkes ada yang datang ke rumah tadi (Senin siang, Red). Katanya sih bukan flu burung. Kami juga tidak mengerti," katanya.
Baik Entis, Yani, maupun seluruh keluarga mengaku rela melepas kepergian TL yang sangat mendadak. Namun Entis, yang hanya berprofesi sebagai buruh serabutan, mengaku bingung karena biaya perawatan anaknya yang begitu tinggi di RSHS, yaitu lebih dari Rp 5 juta.
"Saya baru mampu bayar Rp 2 juta, itu pun setelah pinjam dari sana-sini. Sisanya nggak tahu dari mana. Yang jelas KTP saya ditahan di kasir administrasi RSHS. Maklum saya orang tidak mampu, belum sempat mengurus SKTM (surat keterangan tidak mampu) secara tuntas, baru daftar sampai RT/RW dan desa," katanya dengan nada rendah.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, Achmad Kustijadi, mengatakan, TL belum bisa dipastikan meninggal akibat flu burung. Berdasarkan diagnosis dari RSHS Bandung, hasilnya adalah dengue shock syndrome (DSS).
"Sepekan lalu memang ada sekitar lima belas ayam yang mati, dan sudah diperiksa Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung. Tapi penyebab kematian ayam itu belum bisa dipastikan terjangkit flu burung," katanya kepada Tribun, kemarin siang.
Menurut Achmad, TL mulai sakit pada 28 September, dengan keluhan panas badan yang kadang muncul dan kadang hilang. Keluarga masih memberikan obat yang dibeli dari warung.
Pada 2 Oktober, pasien dibawa ke dokter swasta karena panasnya tidak kunjung sembuh dan tidak disebutkan apa jenis penyakitnya. "Kemudian kontrol kembali pada 5 Oktober, tetapi disarankan dokter untuk dirujuk ke RSHS. Masuk RSHS jam 23, di IGD muntah dan buang air besar berdarah. Meninggal keesokan hari pada pukul 03.00," ujar Achmad.
Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung, Euis Rohayani, tidak merespons pesan pendek dan telepon yang dilakukan Tribun.