Sabtu, 4 Oktober 2025

Opini

Seteru Antarkepala Daerah

BUKAN hal baru bila ada berita dua kepala daerah berseteru atau tidak sepaham atas sebuah kebijakan lintas wilayah

Editor: Prawira

BUKAN hal baru bila ada berita dua kepala daerah berseteru atau tidak sepaham atas sebuah kebijakan lintas wilayah. Dan, ketidaksepahaman antara Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin dan Bupati Kotabaru Mardani H Maming, tentang Komisi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), adalah salah satunya.

Gubernur Rudy Ariffin meminta bupati Kotabaru itu untuk mencabut izin Amdal untuk 13 perusahaan yang bergerak di bidang yang dampak dengan lingkungan berikut membekukan Komisi Analisa Mengenai Dampak Ligkungan (Amdal) yang merekomendasi izin ‘bodong’ tersebut.

Ternyata Bupati Kotabaru Mardani H Maming hanya patuh untuk salah satu dari dua perintah itu yaitu mencabut izin Amdal. Itupun melalui proses waktu yang terbilang lamban.

Padahal dua tuntutan gubernur itu merupakan hasil rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup. Artinya gubernur berkehedak tidak sendiri tetapi dengan lembaga pemerintahan yang lebih tinggi lagi yaitu menteri yang notabene adalah staf-nya presiden.

Apalagi, tuntutan itu mengenai sektor yang merupakan tanggungjawab vertikal yaitu dari menteri, gubernur dan bupati karena menyangkut masalah lingkungan di suatu wilayah.

Benar, lokasi Amdal yang diributkan itu berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Kotabaru, tetapi karena menyangkut geografis juga menjadi tanggungjawan gubernur dan urusan menteri yang terkait.

Tetapi inilah potret pengejawantahan sistem Otonomi Daerah (otda) yang muncul sebagai buah dari reformasi di negeri ini yang menitikberatkan kekuasaan pada daerah dati II atau kabupaten. Akibatnya, para bupati menuangkan ‘titah’-nya bagai raja-raja kecil.

Bupati merasa mempunyai kekuasaan penuh atas wilayahnya begitu karena sudah memenangkan dukungan masyarakat terbanyak melalui pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) secara langsung.

Mereka kemudian merasa ‘titah’-nya tidak bisa diganggu gugat apakah oleh gubernur, menteri bahkan juga presiden. Akibatnya, ketika muncul persoalan yang bersinggungan dengan wewenang antarkepala daerah, seperti masalah lingkungan, bukannya kesepakatan yang didapat sebaliknya seteru yang mengemuka.

Perseteruan gubernur dan bupati bukan hanya terjadi dalam kasus lingkungan di Kotabaru ini, di provinsi tetangga yaitu Kalteng juga kerap terjadi.

Misalnya, ketika ada pertemuan membahas masalah tataruang provinsi, gubernur Kalteng kesulitan untuk menghadirkan bupati di wilayah itu. Walaupun pertemuan dihadiri menteri terkait.

Inilah yang disebut-sebut sebagai dampak dari pemberlakuan otda. Bupati tak patuh pada gubernur menjadi hal yang lumrah, walaupun di mata masyarakatnya memberikan kesan pemimpin tidak mencerminkan keteladanan yang selama ini dijunjung masyarakat Indonesia.

Apalagi, bila bupati itu pernah maju dalam perebutan kursi gubernur, namun kalah, maka bisa ditebak, dampaknya sampai pada pelaksanaan pemerintahan.

Itu pula yang kemudian melahirkan gagasan baru para cendekiawan yang merasa prihatin dengan perseteruan antarkepala daerah ini.

Gagasan itu menghendaki agar titik otonomi daerah diserahkan kepada provinsi bukan ke kota atau kabupaten. Tujuannya agar rencana pembangunan mulai pusat sampai kota dan kabupaten bisa dilaksanakan satu jalur dan sinergis.

Bukan untuk melahirkan raja-raja lebih besar berkelas gubernur, tetapi agar, muara pembangunan jalurnya lebih lempang. Bukan gontok-gontokan yang dipertontonkan kepala daerah, dengan rakyat yang akan jadi korbannya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved