Pilkada Serentak 2020
Mendagri Sebut Pilkada Langsung Bisa Jadi Sebab Timbulnya Manipulasi Demokrasi hingga Akar Korupsi
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut, pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung bisa menimbulkan terjadinya manipulasi demokrasi.
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut, pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung bisa menimbulkan terjadinya manipulasi demokrasi.
Tak hanya itu, menurut Tito, Pilkada langsung juga bisa memicu terjadinya akar masalah korupsi di daerah.
Hal itu Hal itu diungkapkan Tito dalam webinar bertajuk Mengapa Kita Butuh Kepala Daerah? Persiapan Pilkada Serentak 9 Desember 2020 yang diselenggarakan oleh Nagara Institute, Sabtu (20/6/2020).
Menurut Tito, manipulasi demokrasi bisa terjadi jika pemilihan langsung diterapkan pada masyarakat yang masih berbentuk piramida.

Artinya, masyarakat yang masih sedekit high class, lalu midlle class-nya tidak terlalu besar dan sebagian besar masyarakatnya adalah low class.
"Low class kita adalah mereka yang poorly educated secara pendidikan tidak memadai, kemudian secara kesejahteraan tidak memadai. Mereka belum memahami arti demokrasi," papar Tito, seperti dikutip Tribunnews.com dari siaran langsung di kanal Nagara Institute.
Akibatnya, lanjut Tito, demokrasi dapat dimanipulasi atau didekte oleh para pemegang kekuasaan, para pemegang modal yang memiliki banyak uang serta mereka yang bisa menggiring opini publik karena bisa mengendalikan media.
Baca: Pengawasan Pilkada 2020, Penerapan Protokol Covid-19 Hingga Antisipasi Kerumunan Massa
"Akibatnya yang terjadi adalah kita melihat di lapangan para pemilih-pemilih kita di daerah-daerah yang dipenuhi oleh low class kualitas pemimpin yang dipilih belum tentu sesuai dengan yang diharapkan."
"Karena memang masyarakatnya mudah dimanipulasi," ucap Tito.
Aspek negatif lain yang bisa ditimbulkan akibat pilkada langsung adalah terjadinya akar masalah korupsi di daerah.
Sebab, menurut Tito, seseorang yang ingin mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan pasti harus mengeluarkan banyak biaya.
"Paling tidak yang resmi-resmi saja biaya saksi kemudian juga biaya untuk tim sukses, biaya untuk kampanye."
"Belom lagi (mohon maaf) mungkin ada yang transaksional untuk mendapatkan perahu, katakanlah perahu partai," terangnya.
Baca: Ada Tambahan 456.256 Pemilih Baru di Pilkada Serentak Desember 2020
Bahkan, lanjut Tito, mungkin juga terjadi politik uang di tingkat bawah.
Tito menuturkan, untuk menjadi bupati saja dibutuhkan biaya yang besarnya sampai Rp 20-30 miliar, wali kota mungkin lebih dari itu, dan gubernur akan lebih tinggi lagi.