Minggu, 5 Oktober 2025

Akademisi Tegaskan Pendidikan Harus Membentuk Kepedulian, Bukan Sekadar Kecerdasan

LSPR baru-baru ini mencetak prestasi membanggakan dengan meraih peringkat pertama dunia dalam kategori Crisis Management

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Wahyu Aji
istimewa
PENDIDIKAN IDEAL - Rektor LSPR Institute of Communication and Business, Associate Prof. Dr. Andre Ikhsano dan Pendiri (kanan) dan CEO LSPR, Dr. (H.C) Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR, FIPR (tengah) di Jakarta belum lama ini. Andre Ikhsano, menegaskan bahwa makna pendidikan tidak seharusnya berhenti pada pencapaian administratif atau prestasi akademik semata. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rektor LSPR Institute of Communication and Business, Associate Prof. Dr. Andre Ikhsano, menegaskan bahwa makna pendidikan tidak seharusnya berhenti pada pencapaian administratif atau prestasi akademik semata. 

Menurutnya, pendidikan ideal adalah proses pembentukan karakter dan kesadaran sosial yang menjadikan manusia utuh—berpikir kritis sekaligus peduli terhadap sesama.

“Pendidikan tidak boleh hanya menghasilkan lulusan yang pintar, tapi juga peduli,” ujar Andre dalam pernyataan resminya, menanggapi capaian LSPR dalam pemeringkatan World University Rankings for Innovation (WURI) 2025 di Jakarta, Sabtu (19/7/2025).

LSPR baru-baru ini mencetak prestasi membanggakan dengan meraih peringkat pertama dunia dalam kategori Crisis Management, berkat pendekatan lapangan yang nyata seperti program peningkatan kapasitas mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim bagi masyarakat adat di Bali.

Menurut Andre, keunggulan program ini terletak pada partisipasi yang bersifat kolektif dan sejajar antara komunitas akademik dan warga terdampak.

“Mahasiswa tidak datang membawa solusi. Mereka datang untuk membangun solusi bersama,” ungkapnya.

Pernyataan tersebut mencerminkan filosofi pendidikan LSPR yang mengutamakan empati, keterlibatan sosial, dan keberpihakan kepada kelompok rentan sebagai landasan pembelajaran.

“Wajah sejati pendidikan muncul ketika ia memanusiakan, bukan mendikte,” tambahnya.

Lebih jauh, Andre juga menyoroti urgensi krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa sebagai tantangan pendidikan modern yang tak kalah serius.

Melalui program Building Resilience: Mental Health and Well-Being, LSPR menciptakan ruang aman bagi mahasiswa untuk menghadapi tekanan akademik dan persoalan pribadi.

Program ini berhasil mengantar institusi itu menempati peringkat kedua dunia dalam kategori Student Support and Engagement versi WURI.

“Yang lebih penting adalah keberanian untuk mendengarkan,” ujar Andre.

“Di balik indeks prestasi, ada banyak jiwa muda yang rapuh dan lelah. Pendidikan harus hadir di situ,” katanya.

Selain itu, LSPR juga menduduki peringkat ketiga dunia dalam kategori SDG-Based Responses to Global Challenges, melalui integrasi Kurikulum Keberlanjutan yang memfasilitasi mahasiswa menerjemahkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke dalam aksi nyata yang relevan dan berdampak.

“Pendidikan hari ini bukan lagi soal memberi jawaban, tetapi tentang melatih kepekaan terhadap pertanyaan besar dunia,” katanya.

Andre menyambut sistem pemeringkatan seperti WURI yang menilai kualitas pendidikan melalui inovasi sosial dan dampak nyata, bukan sekadar reputasi institusi atau jumlah publikasi ilmiah.

Bagi LSPR, keberanian untuk mengartikulasikan pendidikan sebagai instrumen transformasi sosial jauh lebih penting dibanding pengakuan simbolik.

“Peringkat hanyalah permukaan. Yang lebih penting adalah keberanian untuk menyatakan bahwa pendidikan bukan milik segelintir elite, tapi alat transformasi sosial,” tegas Andre.

Ia juga menekankan bahwa LSPR tidak berlomba membangun gedung megah, melainkan membangun jembatan sosial yang menghubungkan kampus dengan masyarakat.

“Itu jauh lebih penting hari ini,” ujarnya.

Di tengah lanskap dunia yang dilanda krisis iklim, ketimpangan sosial, dan tekanan mental, Andre menyakini bahwa pendidikan berbasis empati adalah jalan menuju keberlanjutan masa depan.

“Pendidikan tanpa empati adalah ruang hampa. Ia mungkin cemerlang di atas kertas, tapi akan gagal membentuk manusia yang bisa jadi bagian dari solusi,” katanya.

Pendiri dan CEO LSPR, Dr. (H.C) Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR, FIPR menambahkan, di LSPR, pendidikan bukan sekadar hafalan dan tugas akhir tetapi tentang membentuk generasi pemimpin yang memahami dunia dan bersedia memperbaikinya.

Melalui Kurikulum Keberlanjutan, mahasiswa LSPR belajar tidak hanya tentang 17 tujuan global, tetapi juga bagaimana menerjemahkannya dalam kehidupan nyata.

Mereka merancang kampanye sosial, berkolaborasi dengan NGO, turun ke lapangan, dan menciptakan program yang menyentuh kehidupan masyarakat.

"Mereka tidak hanya tahu apa itu “iklim”, “kemiskinan”, atau “kesetaraan gender”—mereka berjuang di garis depan untuk menjadikan isu-isu itu prioritas bersama," katanya.

Baca juga: Guru Besar LSPR Institute: Indonesia Belum Miliki Model Komunikasi Politik yang Jelas

capaian LSPR dalam pemeringkatan World University Rankings for Innovation (WURI) 2025, Prita mengatakan, prestasi ini adalah bukti nyata bahwa inovasi dan kepedulian sosial bisa berjalan beriringan dalam dunia pendidikan.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved