Materi Sekolah
Pengaruh Sistem Tanam Paksa/Cultuur Stelsel Pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia
Ketentuan kebijakan tanam paksa yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda sangat memberatkan masyarakat Indonesia.
Penduduk Demak yang semula berjumlah 336.000 orang hanya tersisa sebanyak 120.000 orang.
Data ini belum termasuk data penduduk di daerah lain, yang menunjukkan betapa mengerikannya masa penjajahan saat itu.
Tentu saja, tingginya kematian tersebut bukan semata-mata disebabkan sistem Tanam Paksa.
Sistem ini membuat banyak pihak bersimpati dan mengecam praktik Tanam Paksa.
Kecaman tidak hanya datang dari bangsa Indonesia, tetapi juga orang-orang Belanda.
Mereka menuntut agar Tanam Paksa dihapuskan.
Selain itu, kecaman dari berbagai pihak tersebut membuahkan hasil dengan dihapusnya sistem Tanam Paksa pada tahun 1870.
Orang-orang Belanda yang menentang adanya Tanam Paksa tersebut di antaranya Baron van Hoevel, E.F.E. Douwes Dekker (Multatuli), dan L. Vitalis.
Pada tahun 1870, keluar Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan yang menegaskan bahwa pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah penduduk.
Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun.
Tanah penduduk dapat disewa selama 5 tahun, dan ada juga yang disewa sampai 30 tahun.
Pada tahun yang sama juga (1870) keluar Undang-undang Gula (Suiker Wet), yang berisi larangan mengangkut tebu keluar dari Indonesia.
Tebu harus diproses di Indonesia.
Baca juga: Cita Rasa Manis Kuliner Jawa dan Sejarah Kejayaan Industri Gula di Solo
Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta.
Pihak swasta diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru.