Senin, 6 Oktober 2025

Materi Sekolah

Pengaruh Sistem Tanam Paksa/Cultuur Stelsel Pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia

Ketentuan kebijakan tanam paksa yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda sangat memberatkan masyarakat Indonesia.

Penulis: Devi Rahma Syafira
Editor: Daryono
Tribun Jogja/Hamim Thohari
Ilustrasi Kebun Teh di Wonosobo. Pengaruh Sistem Tanam Paksa/Cultur Stelsel Pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia. 

TRIBUNNEWS.COM -  Pada tahun 1830, Johannes van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel).

Dikutip dari Buku SMP/MTS IPS Kelas VIII (2017) Oleh Mukminan, kebijakan tanam paksa diberlakukan karena Belanda menghadapi kesulitan keuangan akibat perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Belgia (1830-1831).

Adapun tanaman teh, kopi, kakao, sebagai tanaman ekspor utama Belanda dari Indonesia pada masa penjajahan.

Ketentuan kebijakan tanam paksa yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda sangat memberatkan masyarakat Indonesia.

Terutama, pelaksanaannya penuh dengan penyelewengan sehingga semakin menambah penderitaan rakyat Indonesia.

Banyak ketentuan yang dilanggar atau diselewengkan baik oleh pegawai Belanda maupun pribumi.

Baca juga: Mengenal Sel Jaringan Tumbuhan: Jaringan Meristem, Kambium Vaskuler, dan Kambium Gabus (Felogen)

Baca juga: Mengenal Serat Alam: Sudah Digunakan Sejak 2640 SM, China yang Pertama Mengolahnya

Kebun teh
Kebun teh (Johnson Simanjuntak/Tribunnews.com)

Praktik-praktik penekanan dan pemaksaan terhadap rakyat:

a. Menurut ketentuan, tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari tanah yang dimiliki rakyat.

Namun kenyataannya, selalu lebih bahkan sampai ½ bagian dari tanah yang dimiliki rakyat.

b. Kelebihan hasil panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan.

c. Waktu untuk kerja wajib melebihi dari 66 hari, dan tanpa imbalan yang memadai.

d. Tanah yang digunakan untuk tanaman wajib tetap dikenakan pajak.

Penderitaan rakyat Indonesia akibat kebijakan Tanam Paksa ini dapat dilihat dari jumlah angka kematian rakyat Indonesia yang tinggi akibat kelaparan dan penyakit kekurangan gizi.

Pada tahun 1848-1850, karena paceklik, 9/10 penduduk Grobogan, Jawa Tengah mati kelaparan.

Dari jumlah penduduk yang semula 89.000 orang, yang dapat bertahan hanya 9.000 orang.

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved